mazpri

mazpri

02
February

30
January

27
May

 

 

VOI PESONA INDONESIA Diperkirakan bahwa sebelum kedatangan bangsawan dari Siam dan Campa Pulau Srindit atau Pulau Bunguran sudah ada yang mendiaminya, yakni Melayu Tua. Hal itu diperkuat dengan cerita rakyat Natuna, bahwa dahulu kala ditemui orang ‘kate’ di kaki gunung Ceruk dan ranai. Orang ‘kate’ atau pendek itu adalah sebutan atau salah satu ciri dari orang Melayu Tua. Hal tersebut tentu sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Wilhelm G. Solheim sebagaimana dikutip Ellya Roza dalam bukunya sejarah Tamadun Melayu bahwa Asia Tenggara adalah sebagai tempat mula-mula terciptanya peradaban manusia. Itu artinya, peradaban Melayu bukanlah kelanjutan dari peradaban India dan Cina. 

Namun masyarakat awal di Kampung Segeram, yakni generasi Demang Megat dan Engku Fatimah dengan masyarakat sekarang ini mengalami berbagai pasang surut pertumbuhannya. Generasi awal atau generasi Demang Megat dan Engku Fatimah diperkirakan di mulai pada akhir abad 15 Masehi, yakni bertepatan masa Sultan Alaudin Riayat Syah III (Tahun 1597-1655 M). Akan tetapi jejak-jejak masih ada, dan saling keterkaitan dengan apa yang ada di Segeram. Sebagaimana diceritakan oleh Bapak Syamsudin kepada Tim Peneliti bahwa di Segeram ada “keturunan Datuk Kaya dan anaknya bernama Putri Bulan“ di Gunung Sedenuk. Putri Bulan adalah seorang gadis yang cantik. Karena kecantikan, maka terdengar kabar oleh para Lanon. Lanun atau Lanon (dialog Natuna) adalah para perompak laut, yang merompak harta benda para pedagang atau siapa saja di laut. Maka datang lah si Lanun tersebut ke Kampung Segeram untuk memperebutkan Putri Bulan. 

Kemudian terjadilah perkelahian atau pertempuran antara Lanun dengan Datuk Kaya di hulu sungai yang merupakan benteng pertahanan Datuk Kaya. Dalam perkelahian tersebut Datuk Kaya terpeleset dari Batu atau benteng pertahanan dan terbunuh oleh sang Lanun. Sedangkan sang Putri Bulan disimpan di Gunung Sedenuk dan meninggal tanpa diketahui. Akan tetapi sebagian masyarakat Segeram mengatakan bahwa Makam yang ada di Gunung Sedenuk adalah Maka Putri Bulan. Setelah generasi Demang Megat dan Engku Fatimah, Kampung Segeram mengalami kemundurun, dan boleh dikatakan mengalami abad kegegelapan (Dag Age), mengalami keterputusan generasi awal dengan generasi berikutnya. 

Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Ketua RW Segeram Faisal Prihadi kepada Tim Peneliti, bahwa menurut cerita yang didapatinya Segeram pernah ditinggal oleh manusia, namun ia tidak tahu penyebabnya. Maka munculnya generasi berikutnya yang mendiami Segeram adalah berasal dari daerah Daik Lingga, Banjar, Kalimantan dan Suku Laut. Menurut keterangan Bapak Syamsudin perintis Kampung Segeram generasi atau priode kedua pasca generasi Demang Megat dan Engku Fatimah adalah “Tok Jong A’out” Tok Jumat adalah Atok dari Wan Tiase. Wan Tiase bersumikan Atok Usman berasal dari Banjar, sedang Wan Tiase berasal dari Suku Laut namun lahir di Segeram. Periode generasi kedua ini diperkirakan 300 tahun lalu. 

Dari keturunan Tok Jumat inilah kemudian lahir generasi baru yang mendiami masyarakat Segeram. Semasa itu diceritakan Bapak Syamsudin masyarakat Segeram sangat maju dan ramai. Berbagai kegiatan perdagangan, agama dan pendidikan berkembang di Segeram. Sehingga daerah sekitar seperti Sedanau, Kelarik dan pulau lainnya belajar agama di Segeram. Ada beberapa tokoh ternama dalam masa ini, antara lain, Tok Kasim, Tok Usman, Tok Yunus, Tok Idin dan Tok Abu. Nama nama ini kemudian diabadi sebagai nama-nama tempat di Segeram, seperti Sungai Tok Kasim, Tok Idin dan Tok Abu. Tok Kasim diperkirakan adalah Sayyid Qosim Bin Yasin Al Aidarus atau dikenal juga dengan julukan nama Tuan Jubah Hitam. Wafat pada 14 Sya’ban tahun 1532 H sesuai yang tertulis di Nisan makamnya terdapat di Segeram, tepatnya disamping Mesjid Al-Bihar. (Resmawati)

 

02
February