Pemerintah Indonesia membidik Arab Saudi guna memacu ekspor makanan dan minuman. Salah satu usahanya adalah dengan menyelenggarakan seminar web (webinar) bertajuk ‘Enhancing Indonesian Food Export to Arab Saudi’ yang dilaksanakan baru -baru ini. Konsul Jenderal RI Jeddah Eko Hartono dalam webinar itu mengatakan, Arab Saudi merupakan pasar potensial bagi produk Indonesia. Para pelaku usaha diharapkan aktif mencari peluang pasar ekspor dengan terus berkomunikasi dengan perwakilan Indonesia di Arab Saudi. Eko Hartono berharap webinar ini tidak hanya menambah wawasan para pelaku usaha mengenai peluang serta regulasi dagang di Arab Saudi, namun juga menjadi jembatan untuk menjajaki kesepakatan.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kasan yang turut hadir dalam webinar ini menyampaikan, Arab Saudi merupakan salah satu pintu masuk bagi produk Indonesia yang ingin menjajaki pasar di kawasan teluk. Dengan jumlah penduduk lebih dari 30 juta jiwa, serta lebih dari 10 juta kunjungan jemaah haji dan umrah yang hampir pasti setiap tahunnya, Arab Saudi adalah pasar segmen khusus yang perlu diperhatikan pengusaha Indonesia. Menurut Kasan, hal lain yang menjadikan Arab Saudi menjadi pasar potensial bagi Indonesia adalah pola konsumsi masyarakatnya. Konsumsi masyarakat Arab Saudi yang kini meningkat cukup tinggi menjadikannya sebagai salah satu pasar yang menjanjikan bagi berbagai produk makanan dari Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama Atase Perdagangan Riyadh Erwansyah mengatakan, saat ini regulasi impor makanan di Arab Saudi mengalami perubahan yang dinamis. Setiap perusahaan makanan, utamanya yang terkait ayam, daging, dan ikan, perlu mendaftarkan diri dan melakukan self assessment. Selain itu, perusahaan tersebur harus berkoordinasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang sudah bekerja sama dengan Saudi Food and Drug Authority (SFDA). Meski demikian, menurut Erwamsyah, dinamika perubahan aturan tersebut merupakan tantangan positif bagi pengusaha di Indonesia. Bila pengusaha Indonesia bisa menembus pasar Arab Saudi, maka dipastikan akan lebih mudah melakukan penetrasi ke negara-negara tetangga lainnya di kawasan itu. Webinar tersebut dihadiri 252 peserta yang terdiri atas para pelaku usaha dan unsur pemerintah kedua negara.
Kementerian Perdagangan terus mendorong para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mengembangkan bisnis di tengah pandemi COVID-19, salah satunya dengan menguatkan merek (brand). Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Kasan dalam webinar Lembaga Kajian Nawacita yang digelar Selasa, 14 Juli mengatakan, dengan strategi penguatan merek yang tepat, pelaku UKM dapat meningkatkan ekspor produk-produknya.
Menurut Kasan, dengan produk yang berdaya saing tinggi, merek dapat meningkatkan kepercayaan konsumen internasional terhadap produk UKM Indonesia. Selanjutnya merek akan menciptakan keterikatan antara konsumen dengan produk UKM Indonesia, sehingga konsumen akan kembali membeli produk tersebut.
Kasan menyampaikan, UKM berperan besar dalam perekonomian di dunia termasuk di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, pada 2019 jumlah UKM di Indonesia diperkirakan mencapai 64,19 juta usaha, atau 99 persen dari unit usaha di Indonesia. Jumlah ini, bila disertai dengan fasilitasi yang tepat sasaran dari program-program pemerintah, mampu menaikkan kontribusi UKM terhadap ekspor Indonesia.
Di masa pandemi ini, banyak pelaku UKM yang kesulitan mendapatkan bahan baku akibat kebijakan karantina wilayah di negara penyuplai serta kesulitan melakukan ekspor karena negara tujuan sedang fokus pada pemulihan ekonomi. Untuk itu, Kementerian Perdagangan mendorong pelaku UKM untuk terus berinovasi, mulai dari diversifikasi produk, peningkatan kualitas, kecepatan pengantaran, hingga penguatan merek, agar dapat memenangkan kompetisi di pasar global.
Sementara itu, dalam webinar yang sama, Direktur Pengembangan Produk Ekspor, Olvy Andrianita menjelaskan sejumlah hambatan yang dihadapi UKM dalam mengembangkan bisnisnya. Hambatan tersebut, antara lain terbatasnya kapasitas sumber daya manusia dan pendanaan, inkonsistensi kapasitas dan kualitas produk, belum tersertifikasinya produk yang dihasilkan, kurangnya pengembangan desain produk dan kemasan, kurangnya keterampilan ekspor, serta belum memiliki merek. Selain itu, penundaan agenda promosi, perubahan perilaku konsumen dari berbelanja secara luring menjadi daring, serta kewajiban penerapan protokol kesehatan dalam menjalankan bisnis juga menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku UKM. Menurut Olvy, sengitnya kompetisi memaksa pelaku UKM memikirkan strategi pengembangan merek yang tepat untuk produk dan jasanya. Merek harus mencerminkan nilai-nilai usaha produk unggulan UKM dan mampu menjadi sarana komunikasi yang efektif bagi konsumen lokal maupun global.
Indonesia terus meningkatkan kemampuan alat utama sistem senjata – Alutsista ditengah suasana pandemi Covid-19 dan kondisi wilayah yang memanas, terutama di laut Tiongkok Selatan. Pembelian senjata produk luar negeri dan dalam negeri terus ditingkat oleh Kementrian Pertahanan sebagai pelengkap wajib Tentara Nasional Indonesia. Industri strategis seperti PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL terus didorong untuk berinovasi menciptakan Alutsista buatan Indonesia guna melepas ketergantungan dari pihak luar negeri. Apalagi disaat situasi bayang bayang resesi ekonomi dunia, pemanfaat dana secara rasional dan efisien sangat bermanfaat bagi Indonesia.
Pada rapat terbatas, di Istana Negara, Jakarta Selasa (7 Juli), Presiden Joko Widodo meminta Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto untuk belanja Alutsista dari perusahaan dalam negeri. Hal tersebut untuk menggairahkan perekonomian dalam negeri ditengah pandemi Covid-19. Anggaran Kementerian Pertahanan paling besar mencapai Rp117,9 triliun. Jadi, menurut Presiden Joko Widodo, jika membeli peralatan dari Indonesia akan memberikan keuntungan besar bagi perekonomian Indonesia.
Sementara itu, Menteri Prabowo Subianto menegaskan bahwa pihaknya akan mendorong industri strategis nasional untuk memenuhi kebutuhan Alutsista TNI. Saat mencoba kendaraan Taktis Maung buatan Pindad, dia menegaskan bahwa Kementerian Pertahanan akan terus mendukung upaya peningkatan produksi Alutsista dalam negeri, serta mendukung program penelitian dan pengembangan, agar nantinya seluruh hasil produksi dalam negeri dapat mandiri.
Kemandirian dalam industri Alutsista adalah hal utama. Namun, hal itu membutuhkan kerjasama saling menguntungkan. Kerjasama dengan pihak asing untuk alih teknologi seperti kerjasama dengan pihak perguruan tinggi terus dilakukan dan menjadi keharusan oleh industri strategis nasional. Semua itu bertujuan untuk mewujudkan kemandirian Alutsista dan menjaga kedaulatan wilayah Indonesia.
Dengan demikian, pembelian hampir 500 kendaraan taktis buatan Pindad untuk Kementerian Pertahanan dapat dikatakan titik tolak menuju kemandirian bangsa dalam pemanfaatan inovasi dan kreasi putra-putri bangsa Indonesia ditengah ekonomi krisis. Namun,kita akui bahwa tidak semua Alutsista diproduksi dalam negeri. Indonesia harus memenuhi kebutuhan militernya dan anggaran yang telah disediakan segera dibelanjakan seperti rencana pembelian skuadron pesawat tempur Sukhoi buatan Rusia dan pesawat Tiltrotor MV-22 Osprey Block C buatan Amerika Serikat.
Laut China Selatan tidak pernah berhenti bergejolak. Perebutan pengaruh yang disertai klaim atas wilayah perairan laut itu, semakin meningkatkan ketegangan baik militer mapun politik. Manuver militer maupun lontaran pernyataan, dari berbagai negara yang merasa berhak atau berkepentingan atas wilayah di kawasan perairan itu, hampir tak pernah berhenti.
Negara negara besar berusaha menguatkan pengaruhnya secara ekonomi dan politik, baik melalui pergerakan militer maupun wacana diplomatic, yang justru memicu eskalasi ketegangan. Beijing mengklaim bahwa hampir 90 persen perairan itu adalah wilayah negaranya. Padahal pengakuan Beijing atas wilayah di Zona Ekonomi Eksklusif di Laut China Selatan itu juga diklaim Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina dan Malaysia yang kesemuanya adalah negara ASEAN. Indonesia yang wilayahnya berdekatan memang mengakui tidak mempunyai klaim apalagi sengketa kawasan dengan China di Laut China Selatan. Walaupun demikian sebagai sesama anggota ASEAN Indonesia menyerukan negara negara yang saling mengklaim untuk berusaha menyelesaikan sengketa dengan baik dan mengurangi ketegangan.
Di sisi lain ada Amerika Serikat yang sebenarnya tidak mempunyai klaim atas Perairan Laut China Selatan. Namun negara besar itu merasa sangat berkepentingan agar wilayah tersebut tetap bebas sebagai jalur perdagangan internasional. Washington menyerukan agar Laut China Selatan tetap menjadi jalur perdagangan internasional utama yang bebas dan dapat dilalui siapa saja. Klaim Beijing atas hampir 90 persen wilayah Laut China Selatan dinilai mengganggu alur perdagangan internasional yang bebas.
Baru baru ini China telah melakukan latihan militer di perairan yang diakui sebagai wilayahnya. Atas tindakan Beijing itu, Washington beraksi keras dengan menyatakan bahwa wilayah yang digunakan latihan milter adalah bukan teritori China. Bersamaan dengan latihan milter China, Amerika Serikat mengirimkan dua kapal induk pada tanggal 4 Juli serta meminta Beijing menghentikan latihan militernya di Laut China Selatan. Menurut Amerika Serikat hal itu hanya menyebabkan ketidak stabilan Kawasan, yang pada akhirnya mengganggu kelancaran jalur perdagangan internasional.
Sebagai negara yang sebagian wilayah lautnya berbatasan dengan klaim beberapa negara atas Laut China Selatan, Indonesia tentu menginginkan dihentikannya persengketaan dan ketegangan. Kalau hal ini terus berlanjut maka akan berpengaruh pada stabilitas keamanan wilayah.