Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan koordinasi dan kolaborasi global dalam menangani penyebaran COVID-19 atau yang dikenal dengan sebutan virus Corona sangat penting untuk mengontrol dan mengatasinya. Retno Marsudi menyampaikannya hal itu ketika bertemu dengan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, di Jenewa, Swiss, Senin (24/2). Menurut Menlu Retno Marsudi kolaborasi global dalam menangani COVID-19 bukan saja untuk mengatasi penyebaran virus ini dalam jangka pendek, namun juga untuk mengantisipasi kemungkinan penyebaran virus sejenis dalam jangka panjang.
Sebelumnya, Indonesia juga telah mengusulkan bentuk kerjasama yang lebih kongkrit, yaitu pembentukan ASEAN-China Ad-Hoc Health Ministers Joint Task Force pada pertemuan Khusus Menlu ASEAN dan RRT di Vientienne, Laos, Kamis, 20 Februari 2020.
Menlu Retno Marsudi saat itu menekankan, Satuan Tugas ini dapat memfokuskan kerja sama untuk pertukaran informasi dan data khususnya dalam penanganan wabah COVID-19. Untuk itu, perlu diadakan pertemuan tim ahli serta mendorong riset dan produksi bersama untuk deteksi virus dan menemukan vaksin yang tepat.
Saat ini, beberapa negara sedang berupaya keras untuk menciptakan formula vaksin yang diharapkan dapat menjadi penangkal virus yang telah memakan korban meninggal sedikitnya 2600 orang itu. Tiongkok saat ini sedang melakukan uji coba formula vaksin pada hewan. Diharapkan, proses tersebut akan berlangsung kurang dari satu tahun. Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian dalam sebuah panel diskusi yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia di Jakarta, Senin, menyampaikan harapannya bahwa dalam waktu dua atau tiga bulan, Tiongkok bisa mendapatkan vaksin yang dapat diuji coba terhadap pasien. Negara lain yang sedang berusaha membuat vaksin, diantaranya adalah Inggris, Rusia, Amerika Serikat dan Singapura. Diharapkan, negara-negara yang sedang melakukan uji coba, bisa saling melengkapi, untuk menciptakan vaksin Covid 19 lebih cepat.
Setiap upaya kerjasama dan kolaborasi untuk mengatasi wabah yang merebak sejak awal 2020 ini, memang harus diintensifkan dan dikuatkan. Semua pihak harus menyadari peran masing-masing dalam penanganan Covid 19. Apresiasi dan dukungan untuk setiap upaya yang dilakukan dalam pencegahan dan penanganan harus terus dikuatkan. Termasuk upaya individu seperti upaya preventif yang dilakukan untuk diri sendiri.
Direktur Jenderal World Health OrganizationTedros Adhanom Ghebreyesus Jum’at (21/2), mengajak masyarakat internasional untuk bertindak sebelum terlambat. Ia mengatakan, "Jendela peluang masih ada, tetapi jendela peluang kita semakin sempit. Kita harus bertindak cepat sebelum tertutup sepenuhnya.”
Dengan keterlibatan dan upaya penuh semua pihak, diyakini wabah ini akan segera berlalu
Amerika Serikat, melalui Kantor Perwakilan Dagangnya (Office of the US Trade Representative-USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), mencoret Tiongkok dan Indonesia dari daftar negara berkembang. Selain Tiongkok dan Indonesia, ada tiga negara lainnya yang juga dicoret dari daftar negara berkembang, yaitu Brasil, India, dan Afrika Selatan. Kelima negara tersebut dinyatakan sebagai negara maju dalam perdagangan internasional. Keputusan Kantor Perwakilan Dagang AS yang meminta Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk mengeluarkan Indonesia dari status negara berkembang tersebut resmi keluar sejak 10 Februari 2020 lalu.
Lantas, apa plus dan minus yang diperoleh Indonesia dengan perubahan status dari negara berkembang menjadi negara maju tersebut? Bagi beberapa kalangan, berubahnya status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju, mungkin dianggap sebagai suatu prestasi. Berarti Indonesia bisa disejajarkan dengan negara Amerika Serikat atau negara Eropa lainnya. Benarkah demikian?
Dari segi perdagangan, naiknya status Indonesia menjadi negara maju memiliki beberapa konsekuensi. Misalnya dihapusnya fasilitas Generalize System of Preference (GSP) atau keringanan bea masuk impor barang ke Amerika Serikat (AS). Fasilitas GSP hanya diberikan untuk negara-negara kurang berkembang (Least Developed Countries-LDCs) dan negara berkembang. Selain itu, dalam beberapa perjanjian dagang, negara-negara berkembang juga sering mendapatkan bantuan teknis dari negara-negara maju.
Dengan berubahnya status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju, fasilitas yang didapat Indonesia tentu saja akan hilang. Amerika Serikat mungkin akan menaikkan bea masuk impor barang Indonesia ke AS.
Menyandang status sebagai negara berkembang memang menguntungkan dari sisi perdagangan, karena barang impor dari negara berkembang yang masuk ke negara maju mendapatkan bea masuk yang lebih rendah. Aturan ini ditujukan untuk membantu negara-negara tersebut keluar dari kemiskinan.
Di sisi lain, Indonesia harus menyikapi keputusan perubahan status ini dengan bijak. Dinaikkannya status Indonesia menjadi negara maju mungkin akan menghapus berbagai fasilitas terutama terkait perdagangan, yang selama ini didapat Indonesia sebagai negara berkembang. Namun, Indonesia harus memandang keputusan ini dengan cara positif.
Kemudahan yang diterima Indonesia selama ini, dalam bentuk keringanan bea masuk impor barang, bisa jadi telah melenakan performa ekspor Indonesia ke luar negeri. Indonesia seakan dimanjakan dengan berbagai fasilitas yang diberikan negara maju.
Berubahnya status Indonesia menjadi negara maju dan hilangnya berbagai fasilitas yang dimiliki Indonesia sebagai negara berkembang selama ini diharapkan dapat melecut Indonesia untuk meningkatkan daya saing dan meningkatkan kualitas produk ekspor Indonesia ke luar negeri. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menyatakan pemerintah tidak khawatir dengan dampak dari perubahan status tersebut. Pemerintah pasti punya cara dan strategi untuk menghadapi konsekuensi yang dihadapi Indonesia setelah perubahan status ini.
Pekan depan, Presiden Amerikat Serikat, Donald Trump dijadwalkan berkunjung ke India untuk menghadiri sebuah acara yang diberi nama “Namaste Trump” atau “Salam, Trump” di stadion kriket. Dia akan diterima oleh barisan “Howdy Modi” para pendukung Perdana Menteri India. Narendra Modi. Menurut rencana, Presiden Donald Trump akan berkendara sepanjang jalan yang berseberangan dengan kawasan kumuh. Hal yang menarik adalah Perdana Menteri Narendra Modi membangun tembok sepanjang kawasan kumuh yang mencapai setengah kilometer, sehingga sekitar 2000 anggota masyarakat miskin di kawasan itu tidak akan terlihat. Di dalam negeri, langkah perdana menteri ini mendapat kritikan. PM Modi dianggap ingin menutupi wajah asli India. Namun, pejabat senior Bijal Patel membantah hal itu. Tembok yang dibangun adalah untuk alasan keamanan, bukan untuk menutupi kawasan kumuh. Cukup unik juga untuk kesamaan antara Narendra Modi dan Trump dalam persoalan tembok. Presiden Trump pun pernah ramai menjadi kontoversi ketika akan membangun tembok pembatas di perbatasan Amerika dan Mexico. Untuk hal ini mungkin Trump dan Modi bisa dikatakan mirip. Tetapi lebih dari itu, Amerika dan India sudah menjadi mitra dalam jangka panjang. Pemerintahan Trump secara konsisten menggambarkan India sebagai salah satu sekutu utamanya di kawasan Indo-Pasifik; Komando Pasifik AS telah mengganti namanya menjadi Komando Indo-Pasifik, menekankan hubungan strategis antara Samudra Hindia dan Pasifik. Ketika India berupaya keras untuk membuat kehadirannya terasa di tingkat internasional dengan keterlibatan yang meningkat, keengganan Tiongkok untuk mengakui kebangkitan global India memiliki dampak negatif pada keterlibatan India di lingkungan terdekatnya. India berupaya memperbaiki banyak tantangan strategisnya dengan memperdalam hubungan dengan Amerika Serikat.
Pada dasarnya, kawasan Asia pasifik menjadi titik pertarungan beberapa negara besar, khususnya, India dan China yang berebut pengaruh di kawasan Asia Pasifik. Sejak awal pemerintahannya, Presiden Trump sudah mendekati India, begitupun sebaliknya. Dengan hubungan Amerika – Cina yang mengalami pasang surut, India tentu berharap dapat dukungan dari Amerika untuk mendapat pengaruh global untuk menjadi global power. Akankah hubungan ini semakin dekat ditengah berbagai polarisasi kepentingan Amerika. Tak ada yang bisa menjamin hubungan Amerika dan India akan terus langgeng. Sejauh ini, Amerika dan India saling mendukung, khususnya masalah pengembangan teknologi, dan India bersedia memberikan hak otorisasi beberapa teknologi kepada Amerika. Namun seperti idiom politik, tak pernah ada teman dan musuh yang abadi. Hanya persamaan kepentingan yang saling menguntungkan, yang akan membuat sekutu akan terus bersama.
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana alam dengan intensitas tinggi. Saat terjadi bencana, terdapat banyak korban jiwa. Timbulnya banyak korban jiwa membuat orang bertanya, seperti apa upaya mitigasi bencana yang dilakukan pemerintah dan masyarakat?
Di Indonesia, telah ada perangkat hukum yang mengatur mitigasi bencana. Terdapat Undang-Undang (UU) No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini mewajibkan negara melakukan penanggulangan bencana. Tetapi Undang-Undang ini dianggap memiliki kelemahan sehingga upaya mitigasi bencana selama ini dinilai tidak maksimal.
Secara umum, penanganan resiko bencana selama ini belum sistematis dilakukan dalam domain-domain bencana spesifik dan bervariasi. Penanganan umumnya dilakukan dalam kondisi darurat, reaktif ketika bencana terjadi, dengan data dan informasi sangat minim, belum dilakukan secara proaktif untuk mencegah dan mengurangi dampak resiko bencana.
Pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan penanganan resiko bencana dalam bentuk regulasi dan perundang-undangan, tetapi dalam pelaksanaannya belum disertai dengan mekanisme memadai, terutama di tingkat daerah atau kabupaten.
Kapasitas daerah dalam menangani resiko bencana masih sangat kurang. Kebijakan daerah dalam menangani resiko bencana belum terintegrasi dalam kebijakan pembangunan dan penganggaran (APBD) di daerahnya. Selama ini, ketidakjelasan arah dan kebijakan tercermin dalam sikap reaktif dan darurat dalam penanganan resiko bencana.
Presiden Joko Widodo dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana 2020 di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu meminta para menteri terkait untuk memperkuat mitigasi bencana. Menindaklanjuti perintah Presiden dalam penguatan dan manajemen penanganan bencana, Kementerian Sosial sudah menyiapkan sejumlah langkah. Pada dasarnya, pihak Kementerian Sosial mendukung dan mendorong pembahasan Racangan Undang-undang (RUU) Penanggulangan Bencana yang kini masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Substansi penting yang diatur dalam RUU tersebut adalah manajemen penanganan bencana mulai dari pencegahan, mitigasi, siaga darurat, tanggap darurat, transisi darurat, tahap rekonstruksi dan rehabilitasi.
Disamping itu, keterlibatan pihak-pihak terkait dperlukan dalam penanganan bencana. Selama ini, Kementerian Sosial dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah bekerja maksimal. Namun dampak bencana masih cukup luas. Sehingga, dalam pembahasan RUU ini perlu memperhatikan suatu mekanisme lebih sistematis dan semua pihak terkait dapat terkoordinasi
Diharapkan RUU Penanggulangan Bencana ini disyahkan menjadi Undang-Undang pada tahun ini agar bisa diimplementasikan saat terjadi bencana sehingga dampak resiko bencana tidak terlalu besar.