Dalam kunjungan kenegaraan di Australia, Presiden RI, Joko Widodo berkesempatan menyampaikan pidato di hadapan anggota Parlemen Australia, di Canberra pada Senin, 10 Februari lalu. Dalam pidatonya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan empat agenda prioritas menyongsong satu abad kemitraan Pemerintah Indonesia dengan Australia untuk menghadapi berbagai tantangan global.
Agenda pertama adalah terus memperjuangkan nilai demokrasi, hak asasi manusia, toleransi, dan kemajemukan. Menghentikan intoleransi, xenophobia, radikalisme dan terorisme. Menurut Presiden, sebagai dua negara yang demokratis dan majemuk Australia dan Indonesia harus bekerja keras bahu membahu, memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan toleransi serta kemajemukan dan mencegah dunia dari ancaman clash of civilization atau benturan peradaban.
Agenda kedua adalah memperkuat prinsip ekonomi terbuka, bebas, dan adil, di tengah maraknya proteksionisme. Presiden Jokowi yakin, sistem ekonomi terbuka dan adil akan menguntungkan semua pihak. Itulah alasan dirinya menyambut baik kesepakatan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership (IA-CEPA).
Usulan agenda yang ketiga adalah Indonesia dan Australia harus menjadi jangkar mitra pembangunan di kawasan Pasifik. Sebagai sesama negara kepulauan, tantangan yang dihadapi Indonesia dan negara kawasan Pasifik tidak jauh berbeda. Indonesia dan Australia, harus menjadi teman sejati bagi negara-negara di kawasan Pasifik, berkolaborasi sebagai mitra pembangunan, mengatasi dampak perubahan iklim, memperkecil tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial, menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan Pasifik.
Usulan keempat adalah kerja sama dalam pelestarian alam dan pembangunan berkelanjutan, reboisasi hutan dan daerah hulu sungai, mencegah kebakaran hutan dan lahan, penurunan emisi karbon, serta pengembangan energi terbarukan dan green technology lainnya.
Selain 4 fokus tersebut, menurut Presiden Joko Widodo jangkar kemitraan Indonesia dan Australia pada tahun 2050 adalah generasi muda. Presiden mengusulkan konsep Ausindo Wave, yaitu tren kedekatan Indonesia-Australia kepada generasi muda, menggelorakan kecintaan generasi muda Australia pada Indonesia, dan sebaliknya kecintaan generasi muda Indonesia pada Australia. Menurut Presiden investasi pada generasi muda akan memperkokoh kemitraan Indonesia dan Australia ke depan. Kedua negara sudah memiliki modal yang besar. Saat ini, terdapat 160 ribu siswa Australia belajar bahasa Indonesia dan 21 ribu pemuda Indonesia belajar di Australia.
Presiden Jokowi adalah kepala negara ke-12 yang diberikan kesempatan bicara di hadapan parlemen dalam sejarah Australia dan menjadi yang pertama untuk berbicara pada 2020.
Setelah berminggu-minggu menjadi wacana, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan tidak akan memulangkan sekitar 689 anggota ISIS eks warga negara Indonesia yang kini berada di Suriah dan Turki ke tanah air. Pro kontra terjadi terkait keputusan pemerintah tersebut. Yang kini menjadi pertanyaan adalah bagaimana nasib selanjutnya setelah ratusan eks warga negara Indonesia menjadi “stateless” ?
Dalam rapat terbatas kabinet Selasa 12 Februari di Istana Bogor, yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan pernyataan resmi tentang penolakan pemulangan sekitar 689 anggota ISIS eks WNI. Usai rapat terbatas, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Hak Azasi Manusia Mahfud MD mengatakan Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris, bahkan tidak akan memulangkan foreign terrorist fighter (FTF) ke Indonesia. Menurutnya, dalam keputusan rapat, pemerintah harus mampu memberi rasa aman dari ancaman teroris dan virus-virus baru terhadap 267 juta rakyat Indonesia.
Sementara itu, pakar Hukum Internasional Universitas Islam Indonesia Jawahir Thontowi mengatakan, penolakan pemerintah Indonesia terhadap anggota ISIS eks WNI akan berdampak negatif di hadapan internal umat Islam, tetapi juga negatif di mata masyarakat internasional. Menurut Jawahir, pemerintah bisa dipandang melanggar konvensi internasional tentang kewarganegaraan. Selain itu, pemerintah juga bisa disalahkan secara internasional karena menolak anggota ISIS eks WNI pulang ke Indonesia tanpa proses pengadilan.
Saat ini, ada sekitar 10 hingga 11 ribu ISIS eks WNI, baik militan maupun pendukung, ditahan di beberapa tahanan di Irak dan Suriah. Dari puluhan ribu tersebut, dua ribunya merupakan ‘militan asing’ alias berasal dari luar Irak dan Suriah. Mengutip data UNHCR, 27 persen dari total anggota ISIS eks WNI tersebut adalah perempuan dan 67 persennya adalah anak-anak di bawah usia 12 tahun. Merujuk dari data tersebut, diketahui beberapa negara yang warganya ikut terlibat ISIS menolak kepulangan warganya, seperti Inggris, Amerika Serikat, Prancis dan Australia, hanya Italia yang mengizinkan kepulangan warganegaranya. Namun Prancis dan Australia akhirnya mengizinkan kepulangan warganya dengan alasan kemanusiaan terutama untuk wanita dan anak-anak.
Berkaca dari Italia, Australia dan Prancis apakah Indonesia akan juga melakukan hal yang sama? Perlu diketahui beberapa WNI bergabung ke Suriah karena tertipu janji palsu dan terjebak dengan isu tenaga kerja. Anggota ISIS eks Warga Negara Indonesia mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Memang Indonesia tetap perlu hati-hati serta berwawasan ke depan untuk menjaga keamanan dan perdamaian di Indonesia, namun juga tetap berlaku adil terhadap anggota ISIS eks WNI.
Hubungan Filipina dengan Amerika Serikat memasuki babak baru. Negara tetangga Indonesia itu telah menghentikan keanggotaannya dari Visiting Forces Agreement-VFA, yaitu perjanjian militer dengan Amerika Serikat. Keputusan Presiden Rodrigo Duterte bahwa Filipina keluar dari VFA sudah disampaikan ke pemerintah Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin telah mengkonfirmasi bahwa hal itu sudah disampaikan dan diterima oleh wakil kepala misi diplomatik di Kedutaan Amerika Serikat di Manila.
Alasan berhentinya Manila dari keanggotaan VFA adalah karena Washington menolak pengajuan visa bagi Ronald Dela Rosa yang merupakan sekutu politik Duterte.
Perjanjian kerjasama militer VFA, berlaku sejak 1998. Melalui kesepakatan bersama itu Filipina menerima kehadiran ribuan pasukan militer Amerika serikat di Filipina guna keperluan latihan militer dan operasi kemanusiaan. Karena itu, Amerika serikat menanggapi langkah Presiden Duterte dengan cukup berhati hati.
Sebagaimana dikutip kantor berita Associated Press, Kedutaan Besar Amerika serikat di Manila menyatakan perlunya mempertimbangkan masalah ini dengan sangat hati-hati. Menurut Amerika keputusan Duterte dapat berimplikasi signifikan bagi hubungan kedua negara, yang telah berjalan selama ini dengan baik. Di sisi lain, Washington juga belum menjelaskan apa alasan menolak permohonan visa orang dekat Presiden Duterte tersebut. Ronald de La Rosa adalah mantan kepala polisi nasional yang sekarang menjadi senator. Pada saat menjadi kepala polisi, Filipina melakukan perang dengan para pengedar narkoba. Karena itu sejumlah pejabat Filipina menduga penolakan visanya terkait dengan perang narkoba yang sempat dikritik Amerika Serikat. Washington sendiri, sampai saat pemutusan keanggotaan dari kerjasama militer VFA oleh Duterte, masih belum menjelaskan alasannya.
Bagaimanapun Washington tentu sedang mempertimbangkan dengan serius pemutusan kerjasama militer yang dilakukan Presiden Duterte. Sebab Amerika Serikat memandang kehadiran militernya di Filipina merupakan penyeimbang kekuatan militer China di kawasan Laut Cina Selatan.
Amerika Serikat masih mempunyai waktu 180 hari sebelum menjawab keputusan Presiden Duterte. Yang menarik, Presiden Filipina itu telah menunjukkan siapa dirinya terhadap Amerika Serikat yang notabene negara besar. Filipina dan Amerika bahkan diketahui punya sejarah hubungan dekat selama ini. Namun bila dianggap perlu tampaknya Filipina tak segan-segan memperlihatkan sikap tegasnya kepada Amerika Serikat.
Indonesia dorong East Asia Summit untuk memperkuat kerja sama maritim dalam kawasan pada pertemuan The 4th East Asia Summit (EAS) Conference on Maritime Security Cooperation di Chennai, India tanggal 6-7 Februari 2020 Seperti dikutip laman kemlu.go.id pertemuan ini membahas empat isu penting mengenai keamanan maritim (maritime security), keselamatan maritim (maritime safety), transisi regional blue economy, dan Indo-Pacific Oceans Initiative/IPOI, termasuk keinginan India memperkaya arsitektur regional maritim di Kawasan Indo-Pasifik
Ketua Delegasi Republik Indonesia pada pertemuan East Asia Summit Foster Gultom mengatakan kunci kestabilan keamanan dan keselamatan maritime di kawasan, terutama melalui dialog dan kolaborasi ASEAN dan mitra wicara membuahkan kepercayaan strategis dan kerja sama saling menguntungkan dapat terus terbangun
Selain itu Indonesia juga kembali menggarisbawahi pentingnya identifikasi kerja sama inovatif dengan melibatkan pemangkukepentingan di kawasan, sehingga masyarakat ASEAN dan kawasan Indo-Pasifik menjadi lebih tangguh Sebagai Ketua, bersama India dan Australia, Indonesia mengajak semua pihak untuk aktif bekerja sama dalam menjawab dinamika kawasan dan globalisasi dengan meningkatkan kemitraan bidang kemaritiman
Konferensi kali ini juga membahas inisiatif Samudera Indo-Pasifik (Indo-Pacific Oceans Initiative/IPOI) yang diperkenalkan oleh Perdana Menteri Narendra Modi pada Konferenti tingkat Tinggi East Asia ke-14, November 2019 lalu di Bangkok Elemen-elemen kerja sama yang tertuang pada inisiatif Samudera Indo-Pasifik ini ditegaskan sebagai elaborasi dan sejalan dengan ASEAN Outlook on Indo-Pacific dan Manila Plan of Action to Advance the Phnom Penh Declaration on the EAS Development Initiative (2018-2022) Pertemuan tingkat Pejabat Senior EAS merupakan pertemuan tahunan ke-4, setelah sebelumnya dilaksanakan di New Delhi (November 2015), Gowa (November 2017), dan di Bhubaneswar (Juni 2018)
Disamping itu pertemuan yang membahas pentingnya keamanan dan keselamatan maritim di bidang pengelolaan laut berkelanjutan, pencemaran sampah plastik, dan manajemen risiko bencana maritim, dinilai strategis karena paska diadopsinya ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) di Bangkok pada KTT ASEAN ke-34, Juni 2019 lalu Pertemuan ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk mendorong kolaborasi ASEAN dan mitra wicara melalui kerja sama riset & teknologi maritim, manajemen sumber daya maritim berkelanjutan, dengan ASEAN tetap memainkan peran sentralnya.