Saudara pendengar, jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada Oktober, suasana di dalam negeri menggeliat. Diawali dengan pro-kontra perpindahan ibukota, kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, Kalimantan dan Jawa, aksi terkait Papua hingga aksi unjuk rasa penentangan rancangan produk hukum yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dinamika yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan bagian dari demokrasi dan kelanjutan reformasi yang dimulai pada akhir tahun 90-an. Bangsa Indonesia memilih reformasi untuk membuat perubahan demokrasi bukannya revolusi. Karena jika terjadi revolusi, bangsa Indonesia bisa saja mengalami kemunduran. Namun, aksi-aksi yang dilakukan belangan ini dapat meresahkan masyarakat Indonesia. Karena hampir di setiap kota besar di seluruh Indonesia, para mahasiswa, pelajar dan petani menggelar demonstrasi. Kerjadian ini mengingatkan pada aksi-aksi yang yang terkadi pada tahun 1998.
Dalam sebuah diskusi di Televisi national, pakar hukum Supardi Ahmad mengatakan bahwa akhir-akhir ini masyarakat meresa prihatin atas rencana revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi –KPK dan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana –KUHP yang akan dituntaskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat –DPR. Poin-poin ini menjadi sorotan utama oleh para demonstran. Supardi Ahmad berharap semua tuntutan para demonstran harus diakomodasi. Semua pemangku kepentingan harus ikut ambil bagian untuk mengkaji kembali dan mensosialisasikannya kepada masyarakat terkait isi rancangan KUHP dan revisi UU KPK. Terkait hal ini, pemerintah telah mengeluarkan komunike untuk menunda pembahasan dan pengesahan bersama DPR.
Dengan partisipasi holistik oleh semua pemangku kepentingan: kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi dan para pakar bergagai disiplin, persoalan bangsa Indonesia terkait produk hukum dapat dituntaskan secara bersama. Dengan demikian, semua produk hukum yang akan dihasilkan dapat dipahami dan diterima oleh semua kalangan menuju Indonesia adil dan sejahtera.
Perserikatan Bangsa Bangsa kembali melaksanakan Sidang Umum. Dalam agenda tahunan ini, Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla hadir menyampaikan pidatonya. Jusuf Kalla antara lain memaparkan persoalan yang sedang terjadi di Indonesia, yaitu kebakaran hutan dan lahan-karhutla. Topik ini dipilih karena menyangkut lingkungan hidup dan tentu menjadi perhatian negara lain. Dalam kesempatan itu atas nama pemerintah dan bangsa Indonesia, Wakil Presiden menyatakan bahwa perubahan iklim turut menghambat proses pemadaman karhutla di sejumlah provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Terkait dengan itu Indonesia menyampaikan komitmen akan proaktif mengantisipasi akibat perubahan iklim tersebut.
Masalah lingkungan hidup memang selalu menjadi salah satu yang diangkat dalam pidato para kepala negara. Tahun ini kebakaran hutan menjadi perhatian. Selain terjadi di Indonesia kebakaran juga melanda hutan tropis di Brasilia yang luasannya melebihi Indonesia. Hutan yang merupakan paru paru dunia, semakin menipis seiring masih terus dipenuhinya angkasa dengan karbon monoksida dan gas buangan lainnya, akbat industri berbahan bakar minyak dan batubara serta kebakaran hutan.
Tetapi Sidang Umum PBB bukanlah semata mata ajang membicarakan lingkungan. Geopolitik, masalah perdagangan dan ekonomi juga menjadi perhatian. Banyak retorika kepala negara yang mengemukakan soal geopolitik dan peningkatan ketegangan hubungan antar negara. Iran dan Amerika Serikat misalnya, saling berargumen mengenai posisi masing masing.
Di bidang ekonomi perang dagang juga menjadi perhatian. Memang, retorika seperti itu terasa sebagai hal yang senantiasa dibicarakan dari tahun ke tahun melalui Sidang Umum sebuah badan dunia yaitu Perserikatan Bangsa Bangsa. Sesungguhnya, dunia masih mengharapkan bahwa melalui sidang umum PBB, tata hubungan antara negara dan suasana damai dan peningkatan kesetaraan dan kesejahteraan antara negara, dapat diwujudkan.
Hati bangsa Indonesia sedang berkabut. Sejumlah hutan dan lahan di Kalimantan, Sumatra, Nusa Tenggara Timur dan Jawa mengalami kebakaran. Akibatnya, beberapa daerah terdampak kabut asap.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, sepanjang Januari hingga 15 September 2019, kebakaran seluas 328 ribu hektar terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Jumlah tersebut mencapai 64% dari luas kebakaran hutan dan lahan sepanjang tahun lalu. Adapun kebakaran hutan dan lahan pada tahun ini terjadi di Nusa Tenggara Timur mencapai 108 ribu hektar, Riau seluas 49 ribu hektar, dan Kalimantan Tengah 45 ribu hektar.
Kabut asap yang menyelimuti sebagian wilayah di Indonesia tentu membuat bangsa Indonesia sedih. Bencana ini menyebabkan kerugian besar seperti gangguan kesehatan, dampak sosial, ekologi, ekonomi dan juga reputasi.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Agus Wibowo dalam konferensi pers pada Senin (23/9) menyebut bahwa bedasarkan catatan Kementerian Kesehatan, sudah 900 ribu lebih orang menderita infeksi saluran pernafasan akut akibat kebakaran hutan dan lahan. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Selain itu, di sejumlah tempat seperti di Pekanbaru, kegiatan belajar mengajar harus berhenti sementara dan sejumlah penerbangan terpaksa dibatalkan akibat kabut asap yang menyelimuti udara.
Kondisi ini tentu harus mendapat perhatian semua pihak. Direktur Konservasi WWF-Indonesia, Lukas Adhyakso menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini sudah cukup memprihatinkan dan perlu ditangani secara serius oleh berbagai pihak, karena hal ini sudah termasuk keadaan darurat.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia sudah mengambil tindakan tegas dengan menyegel 52 perusahaan pemegang konsensi yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan. Tindakan tegas lain menanggulangi kebakaran hutan dan lahan harus segera diambil oleh Pemerintah Indonesia.
Lebih parah lahi, kabut asap akibat bencana kebakaran sudah menyusup ke beberapa negara tetangga, dan menjadi perhatian beberapa media asing. Al-Jazeera yang berbasis di Timur Tengah menyoroti dampak asap kebakaran hutan Indonesia dari segi ekonomi. Dalam artikelnya yang bertajuk 'By the Numbers: Economic Impact of Southeast Asia's Haze'. Al Jazeera memuat kembali data dari tahun-tahun sebelumnya. World Bank menafsirkan biaya ekonomi langsung akibat kebakaran hutan pada tahun 2015 mencapai Rp221 triliun.
Indonesia tentu saja harus menghindari kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan dan lahan yang mencapai juta hektar. Hal ini seharus tidak terulang. Aksi cepat mengatasi dan menanggulangi harus segera dilakukan oleh berbagai pihak dan pelaku kebakaran hutan dan lahan harus dihukum.
Memang terdengar klise, bila dikatakan sinergi dan partisipasi semua pihak: pemerintah, masyarakat, dunia usaha, media dan akademisi harus dikuatkan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Tetapi itulah kenyataannya. Karena instansi pemerintah tidak dapat mengatasi kebakaran hutan dan lahan sendirian. Untuk itu, Bencana kebakaran hutan dan lahan membutuhkan tanggung jawab bersama.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut sejak Januari hingga Agustus tahun ini luas lahan yang terbakar mencapai 328.724 hektar. Setidaknya ada enam provinsi termasuk kategori parah kebakaran lahan yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.
Melengkapi laporan BNPB, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika telah mendeteksi lebih dari 25.000 titik panas di seluruh wilayah Indonesia.
Wakil Ketua Komisi 7 DPR Syaikhul Islam di Jakarta, Senin (23/9), mengatakan, selain menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekosistemnya, kebakaran juga menyebabkan gangguan kesehatan, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan gangguan aktivitas masyarakat lainnya seperti pendidikan, ekonomi dan sosial.
Syaikul meminta kepada menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuka nama-nama perusahaan/korporasi yang terlibat pembakaran hutan dan lahan tanpa ditutup tutupi. Komisi VII meminta Menteri LHK segera mengidentifikasi, mengumpulkan dan mengumumkan nama-nama perusahaan/korporasi yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Tidak boleh ada tebang pilih. Semua temuan di lapangan harus disampaikan secara detail.
Selanjutnya, pihaknya juga mengharapkan penegak hukum segera melakukan penindakan dan penegakan hukum pada seluruh perusahaan yang melanggar. Sebagai Pimpinan Komisi VII DPR, Syaikul mendorong pemerintah untuk melakukan pengawasan secara ketat kepada perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya dan meminta pertanggungjawaban hukum jika perusahaan melakukan pembakaran hutan. Perusahaan memiliki tanggung jawab dalam kasus kebakaran lahan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 67 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan setiap orang, termasuk perusahaan untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Komisi VII juga mendorong pemerintah untuk segera membuat mekanisme pelaksanaan serta prosedur atau tahapan secara rinci mengenai eksekusi putusan pengadilan yang dapat memaksa perusahaan membayar kerugian lingkungan hidup dan biaya pemulihan lingkungan hidup. Ganti rugi tersebut nantinya dapat digunakan untuk memulihkan lingkungan yang rusak akibat pembakaran hutan sehingga hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dapat dipenuhi.