Pada 16 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo secara resmi meminta izin kepada anggota dewan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Kalimantan. Sekitar 1 minggu kemudianMenteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil menyebutkan bahwa lokasi baru ibu kota negara sudah dipastikan pindah ke Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Namun Sofyan Djalil menegaskan, pengadaan lahan untuk kebutuhan ibu kota ini masih menunggu pengumuman resmi lokasi pasti ibu kota baru oleh Presiden.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri menyatakan pihaknya
masih melakukan serangkaian kajian. Namun tidak dibeberkan apa saja yang belum dilengkapi tentang rencana pemindahan ibu kota tersebut. Yang pasti Presiden akan segera mengumumkannya ketika sudah menerima secara lengkap hasil kajiannya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang merupakan sebuah organisasi gerakan lingkungan hidup terbesar di Indonesi juga ikut menyoroti pernyataan yang muncul dari pejabat pemerintah pusat. WALHI meragukan kepedulian pemerintah terhadap dampak lingkungan di balik rencana pemindahan ibu kota negara ini.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Herman Khaeron meminta pemerintah terlebih dahulu mengajukan konsep pemindahan ibu kota secara terbuka kepada DPR RI. Sebab, meskipun sudah ramai diberitakan dan menjadi konsumsi publik, Herman menegaskan, DPR RI belum menerima pemberitahuan apapun terkait rencana pemerintah memindahkan ibu kota dari DKI Jakarta. Kecuali tentunya ketika Presiden Jokowi secara resmi meminta izin DPR Jum’at lalu.
Menurut Herman Khaeron proses yang benar adalah pemerintah harus lebih dahulu mengajukan konsep pemindahan ibukota ke DPR untuk kemudian dibahas. Ditegaskannya kebijakan pemindahan ibu kota negara harus ditetapkan dengan undang-undang.
Jelas, masih ada hal-hal penting yang harus diselesaikan untuk benar-benar memindahkan ibu kota negara, termasuk daerah mana yang tepat. Jadi mungkin tidak perlu terlalu terburu-buru, apalagi sampai menimbulkan pernyataan-pernyataan yang membingungkan masyarakat.
Amerika menguji coba rudal jelajah jarak menengah pada Minggu (18/8), beberapa pekan setelah menarik diri dari perjanjian nuklir era Perang Dingin dengan Rusia, Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty (INF). Kementerian Pertahanan AS melaporkan bahwa rudal tersebut diluncurkan dari pangkalan Angkatan Laut AS di Pulau San Nicolas, California. Rudal itu mampu menjangkau jarak 500 hingga 5.500 kilometer. Data yang terhimpun dan pelajaran yang diambil dari uji coba ini akan memberikan informasi untuk pengembangan kapabilitas rudal jarak menengah bagi Kementerian Pertahanan Amerika. Setelah keluar dari INF pada 2 Agustus lalu, Presiden AS, Donald Trump menegaskan bahwa pihaknya membatalkan perjanjian itu karena menduga Rusia melanggar sejumlah ketentuan. Rusia dan Cina telah meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bertemu pada Kamis (22/8) guna membahas tentang "pernyataan pejabat Amerika Serikat (AS) untuk mengembangkan dan menggunakan rudal jarak menengah". Kedua negara ingin mempertemukan 15 anggota dewan terkait dengan agenda membahas "ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional. Moskow dan Beijing juga telah meminta kepala urusan pelucutan senjata PBB, Izumi Nakamitsu mendesak Washington mempertimbangkan kembali pengembangan misilnya.
Tentu saja, uji coba rudal jarak menengah yang dilakukan Amerika menimbulkan kekhawatiran dunia Internasional. Terutama ketika Amerika Serikat sudah keluar dari perjanjian INF, karena sebetulnya perjanjian itu sudah melarang adanya pengembangan rudal baik nuklir maupun konvensional yang bisa melaju antara 500 hingga 5.500 km. Dengan keluarnya Amerika Serikat dari perjanjian INF, banyak kemungkinan akan bisa terjadi.
Pelarangan menyeluruh uji coba nuklir merupakan langkah penting dalam upaya mencapai tujuan penghapusan senjata nuklir baik jarak menengah maupun jauh. Upaya masyarakat internasional untuk mewujudkan pelarangan uji coba nuklir telah dilakukan sejak tahun-tahun awal pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam perkembangannya, upaya ini telah menghasilkan Partial Nuclear-Test-Ban Treaty (PTBT) pada tahun 1963 yang melarang uji coba nuklir di udara, di luar angkasa, dan laut. Kemudian, Threshold Test-Ban Treaty (TTBT) pada tahun 1976 yang melarang uji coba nuklir di atas kapasitas 150 kiloton, dan Peaceful Nuclear Explosions Treaty pada tahun 1976 yang melarang uji coba nuklir untuk tujuan militer.
Tentu secara umum, masyarakat dunia dan secara khusus, organisasi internasional seperti PBB sebagai polisi dunia harus mencapai kata sepakat bahwa pengembangan dan uji coba nuklir dalam bentuk apapun harus segera dicegah. Jika tidak, hal ini akan memicu dan memperuncing ketegangan militer baik antar-negara maupun antar-benua.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank menegaskan akan memberikan skema pembiayaan dan penjaminan terbaik untuk segala bentuk kegiatan ekspor khususnya ke negara Afrika. Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia Sinthya Roesli, di hadapan sejumlah delegasi negara-negara Afrika dan perwakilan beberapa Badan Usaha Milik Negara dalam Breakfast Business Dialogue, pada ajang Indonesia - Africa Infrastructure Dialogue (IAID) 2019 di Nusa Dua, Bali, Rabu (21/8).
Sinthya menjelaskan, untuk mendukung pengembangan infrastruktur di luar negeri melalui sejumlah Badan Usaha Milik Negara-BUMN berpengalaman, LPEI bisa menjalankan sejumlah skema pembiayaan. Salah satunya berupa buyer’s credit atau pembiayaan kepada pembeli produk atau jasa Indonesia di luar negeri. Dalam hal ini, LPEI bisa memberikan fasilitas buyer’s credit ke pemerintah negara Afrika sebagai pemilik proyek maupun badan usaha di negara terkait. Selain itu, menurut Sinthya Roesli, pihaknya juga memberikan kredit investasi atau overseas investment financing dan juga pembiayaan modal kerja kepada BUMN yang menggarap proyek sektor konstruksi di luar negeri.
Sinthya menambahkan, Indonesia juga telah menerapkan fasiltias semi-concessional loan (pinjaman lunak), yakni National Interest Account (NIA) atau Penugasan Khusus Ekspor (PKE). Afrika pun merupakan salah satu wilayah tujuan utama dari program ini.
National Interest Account merupakan pinjaman lunak yang diberikan LPEI khusus berupa pembiayaan ekspor atas transaksi atau proyek yang secara komersial sulit dilaksanakan, tetapi dianggap perlu untuk menunjang kebijakan atau program ekspor nasional. Melalui skema ini, LPEI telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada BUMN strategis untuk sejumlah proyek di Afrika. Salah satunya diberikan kepada kepada PT Dirgantara Indonesia (Persero) untuk pembelian pesawat CN 235 oleh Senegal senilai 147 Miliar rupiah. Selain itu, fasilitas ini diberikan kepada PT Wijaya Karya Tbk. (Persero) untuk pembangunan perumahan di Aljazair senilai Rp187 miliar.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang memiliki aset mencapai 118,4 triliun rupiah per Juni 2019, akan memberikan skema pembiayaan dan penjaminan terbaik untuk segala bentuk kegiatan ekspor khususnya ke negara Afrika.
Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74, pertemuan para pihak yang ke 18, Conference of the Parties to the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES CoP18) yakni konferensi global yang mengatur perdagangan tumbuhan dan satwa liar, resmi dibuka di Jenewa – Swiss, 17 Agustus lalu.
Menyambut peringatan hari kemerdekaan Indonesia, maka pada hari pertama CoP18 CITES, Indonesia menjadi tuan rumah side event yang mengusung tema “Indonesia’s Conservation Initiatives: Curbing Illegal Wildlife Trade and Strengthening Legal Market System”. Side event ini bertujuan menyampaikan upaya yang telah dilakukan Indonesia dalam konservasi tumbuhan dan satwa liar melalui penguatan kebijakan dan sistem perdagangan legal yang berkelanjutan sesuai dengan konvensi CITES.
Duta Besar Hasan Kleib, Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO) dan Organisasi Internasional lainnya di Jenewa, dalam pidato pembukaannya menyampaikan, bahwa perdagangan ilegal satwa liar merupakan tantangan global yang membutuhkan perhatian yang sangat serius. Kolaborasi adalah kunci untuk memperkuat dan mempercepat tindakan menghadapi tantangan perdagangan ilegal satwa liar yang terus berkembang.
Berbagai tanggapan dan diskusi dalam side event hari ini tersebut menjadi sarana mendapat masukan dan perspektif dari para pihak guna meningkatkan efektivitas kebijakan dan eksplorasi kebijakan dalam menghadapi perdagangan satwa liar ilegal.
Ardi Risman, Kasubdit Pencegahan dan Pengamanan Hutan wilayah Sumatera, dari Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK, menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia juga telah berhasil menangani 247 kasus dan 170 diantaranya dari kasus tersebut telah berhasil diproses lebih lanjut menjadi P21. Terkait kejahatan satwa liar, dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, Indonesia juga telah berhasil mengungkap perdagangan illegal lebih dari 99 jenis satwa secara online. Upaya ini berkat kolaborasi dan dukungan dari berbagai mitra pemerintah termasuk LSM.
Selanjutnya, Clarissa D. Arida dari ASEAN Center for Biodiversity-ACB menyampaikan apresiasi terhadap upaya pemerintah Indonesia dan siap untuk terus memberikan dukungan terhadap upaya-upaya konservasi di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Sementara itu, Perwakilan dari Tiongkok, Yuan Liangchen dari China National Forestry and Grassland Administration, dalam pesannya juga menyebutkan bahwa Indonesia dan Tiongkok telah memiliki kerjasama terkait isu-isu kehutanan dan juga pelaksanaan CITES.