Dalam momentum Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke74, Bank Indonesia di Jakarta, Sabtu, 17 Agustus meluncurkan secara resmi QRIS atau QR Code Indonesian Standard. QRIS merupakan sistem Quick Response (QR) Code untuk pembayaran melalui aplikasi uang elektronik server based, dompet elektronik, atau mobile banking yang dapat digunakan di semua aplikasi ponsel. Dalam peluncuran tersebut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan penggunaan QRIS bakal memberikan banyak keuntungan dan juga kemudahan dan keuntungan bagi konsumen. Salah satu keuntungannya adalah biayanya yang tergolong lebih rendah dan cenderung seragam antarpelaku Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. Hal ini tercermin lewat persentase biaya merchant discount rate (MDR) untuk merchant reguler.
Dijelaskan, keberadaan QRIS bertujuan untuk mendorong efisiensi transaksi, mempercepat inklusi keuangan, memajukan Usaha Mikro, Kecil, Menengah-UMKM, yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena QRIS ini adalah satu-satunya transaksi QR yang asli di Indonesia, menjadi pertanda Indonesia akan menjadi negara maju modern dan lebih berpendapatan tinggi.
Sistem yang diluncurkan diberi nama QRIS Unggul, yang merupakan singkatan UNiversal, GampanG, Untung, dan Langsung. Adapun QRIS disusun oleh Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), dengan menggunakan standar internasional EMV Co.1.
Untuk tahap awal, QRIS fokus pada penerapan QR Code Payment model Merchant Presented Mode (MPM) dimana penjual (merchant) yang akan menampilkan QR Code pembayaran untuk dipindai oleh pembeli (customer) ketika melakukan transaksi pembayaran. Sebelum siap diluncurkan, spesifikasi teknis standar QR Code dan interkoneksinya telah melewati uji coba pada tahap pertama pada bulan September hingga November 2018 dan tahap kedua pada bulan April hingga Mei 2019.
Nantinya, implementasi QRIS secara nasional akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2020. Hal tersebut dilakukan dengan maksud memberikan masa transisi persiapan bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP).
Setelah sukses menyelenggarakan ‘Indonesia-Africa Forum’ -IAF pertama pada 10-11 April 2018 di Bali, Indonesia kembali menjadi tuan rumah kegiatan yang bertajuk ‘Indonesia Africa Infrastructure Dialog’. Forum ini merupakan kelanjutan dari Forum Indonesia-Afrika 2018.
Forum Indonesia Afrika pertama merupakan tonggak baru kerjasama Indonesia Afrika karena tidak hanya memperkuat hubungan yang sudah ada antara Indonesia dan Afrika yang ditempa sejak Konferensi Asia-Afrika 1955, tetapi juga membuka jalan baru bagi kerja sama ekonomi.
Sejarah mencatat, hubungan Indonesia dan Afrika sudah terjalin sejak diadakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat tahun 1955. Hubungan Indonesia-Afrika kemudian dilanjutkan dengan diadakannya Asian-African Summit 2005, Asian-African Conference 2015, Indonesia-Africa Forum 2018 dan Indonesia-Africa Infrastructure Dialog 2019. Semua itu menunjukkan bahwa kemitraan Indonesia dengan negara-negara Afrika semakin erat, kuat, dan bermanfaat untuk semua. Saling kunjung bilateral kepala negara dan pemerintahan, pejabat tinggi, dan komunitas inti ekonomi juga berlangsung dinamis dan berguna nyata bagi kemajuan pembangunan bangsa bersama.
Dalam Forum Indonesia Afrika 2018, infrastruktur menjadi salah satu masalah yang paling disorot, karena Indonesia dan Afrika menganggap sektor ini sebagai prioritas tinggi untuk pembangunan di masa depan. Karena itu, Indonesia Africa Infrastrcuture Dialog diadakan yang mana Indonesia dan negara-negara dari kawasan Afrika berkumpul dan membahas potensi kerja sama.
Terbukti, forum dialog yang berlangsung 2 hari ini menciptakan hasil kongkret seperti perjanjian kerja sama antara Indonesia dan beberapa negara Afrika. Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi pun menyatakan rasa puasnya akan hasil Dialog Infrastruktur Indonesia Afrika ini karena menghasilkan kesepakatan bisnis yang mencapai 822 juta dolar, melampaui angka pencapaian tahun lalu sebesar 586 juta dolar AS.
Angka kesepakatan bisnis yang dicapai dalam forum dialog ini membuktikan kepercayaan dari negera-negara Afrika terhadap Indonesia semakin besar.
Semoga Dialog Infrastruktur Indonesia Afrika dapat semakin memperluas kerjasama antara Indonesia dan negara-negara Afrika serta meningkatkan berbagai konektifitas dan people-to-people contact antara Indonesia dan negara-negara Afrika.
Sejak berakhirnya Perang Dingin yang ditandai bubarnya Uni Sovyet pada awal tahun 90an, ancaman potensi perang dunia melalui perang senjata nuklir pun menurun. Hegemoni kekuatan 2 adidaya menghilang, namun kekhawatiran akan perang nuklir tetap ada. Diketahui, beberapa negara pecahan Uni Sovyet ternyata masih menyimpan hulu ledak nuklir yang keamanannya sangat diragukan. Namun Rusia mengambil alih posisi negara adi daya pasca pecahnya Uni Sovyet dan tetap meminta Amerika Serikat untuk mematuhi kesepakatan perjanjian nuklir Strategic Arms Reduction Treaty-START I dan II. Yang pertama ditandatangani tanggal 31 Juli 1991 oleh George H. W. Bush dan Mikhail Gorbachov . Perjanjian ini berlaku mulai 5 Desember 1994 dan berakhir 5 Desember 2009. Pada tanggal 8 April 2010 START II ditandatangani oleh Rusia dan Amerika di Praha. Setelah diratifikasi START II mulai berlaku 5 February 2011 sampai tahun 2021.
Namun ancaman nuklir kembali menyruak setelah Presiden Donald Trump menyatakan keluar dari perjanjian nuklir tersebut pada awal Agustus ini dan tak lama kemudian 18 Agustus Amerika Serikat melakukan uji coba rudal jelajah nya yang baru.
Usai uji coba Kementerian Pertahanan AS melaporkan bahwa peluncuran rudal dari pangkalan Angkatan Laut AS di Pulau San Nicolas di lepas pantai Los Angeles, California berlangsung sukses. Menurut pemerintah AS, data yang terhimpun dan pelajaran yang diambil dari uji coba ini akan memberikan informasi untuk pengembangan kapabilitas rudal jarak menengah yang dilakukan Kementerian Pertahanan.
Sementara itu, aksi uji coba peluncuran rudal AS mengundang kiritik tajam negara anggota Dewan Keamanan PBB. Pemerintah Tiongkok mengkritik uji coba rudal jelajah darat yang dilakukan Amerika Serikat (AS). Tiongkok menilai hal itu akan memiliki dampak negatif serius bagi situasi keamanan internasional dan regional. Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Geng Shuang, Selasa 20 Agustus, langkah dari AS akan memicu putaran baru perlombaan senjata yang mengarah pada peningkatan konfrontasi militer. Washington harus melepaskan mentalitas perang dinginnya untuk menciptakan situasi kondusif bagi perdamaian dan ketenangan internasional serta regional.
Efek dari ujicoba rudal tersebut bagi masyarakat internasional adalah munculnya kecemasan akan kembalinya potensi perang nuklir. Walau beberapa negara seperti Korea Utara, India Pakistan pernah melakukan hal yang sama, ketakutan yang muncul sekuat ketika AS dan Rusia melakukannya. Apalagi situasi dunia saat ini tengah dilanda berbagai krisis, mulai dari Krisis Ekonomi, krisis energi terutama energi fosil, dan masalah lingkungan hidup yang mengancam kelangsungan hidup penduduk dunia.
Semoga apa yang pernah dikatakan Presiden Rusia Putin, bahwa akan terjadi “Bencana Global” jika AS tidak mau duduk bersama kembali membicarakan perjanjian nuklir, tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Akhir-akhir ini partai-partai politik di Indonesia disibukkan dengan wacana akan dihidupkannya kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara-GBHN. Jika ini disetujui oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat-MPR, maka akan ada lagi amandemen Undang-Undang Dasar- UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN.
Sejarah mencatat, sepanjang Republik Indonesia berdiri, proses amandemen UUD 1945 sudah dilaksanakan sebanyak empat kali. Dalam dinamika hukum dan politik Indonesia, amandemen UUD 1945 adalah salah satu implementasi dari reformasi. Sebuah semangat yang muncul pasca-tumbangnya kekuasaan Orde Baru, yang berkuasa selama tiga dekade lebih. Yang paling dirasakan perubahannya adalah amandemen pada pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemilihan tersebut tidak lagi diwakilkan kepada anggota MPR, melainkan dilakukan langsung oleh rakyat.
Amandemen ini dibuat untuk menghindari pengalaman pahit selama Orde Baru. Ketika Soeharto berkuasa dalam waktu yang sangat lama dengan sangat otoriter. Dengan amandemen pula presiden bisa dimakzulkan bila terbukti melanggar ketentuan undang-undang.
Dengan sistem yang berlaku seperti sekarang ini, banyak pihak mempertanyakan, apa urgensinya menghidupkan kembali GBHN? Sebab saat ini presiden tak lagi bekerja sebagai mandataris MPR. Dengan amanat langsung dari rakyat maka presiden RI terpilih tidak lagi berkedudukan lebih rendah daripada MPR. GBHN yang disusun oleh MPR menjadi tidak diperlukan lagi. Presiden harus menjalankan visi-misi seperti yang disampaikannya pada waktu berkampanye kepada rakyat.
Ketua MPR, Zulkifli Hasan sebelumnya menerangkan bahwa perencanaan pembangunan nasional dalam GBHN diperlukan mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan besar. Haluan itu akan menjadi pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan.
Namun Presiden Joko Widodo sendiri sempat menyatakan penolakan terhadap usul mengembalikan GBHN. Alasannya, GBHN sudah tidak diperlukan karena Indonesia sudah memiliki Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional-SPPN yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 sebagai pengganti GBHN. SPPN mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) untuk periode 2005-2025 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk periode setiap lima tahun.
Pandangan mana yang nanti dipilih, akan ditentukan oleh anggota MPR. Namun niat yang tulus harus dibuktikan dalam penentuan tersebut. Jangan sampai nanti terbukti bahwa menghidupkan kembali GBHN hanya akal-akalan partai yang berkuasa untuk memaksakan kehendaknya, dengan menekan presiden dan mengerdilkan demokrasi yang sudah dengan susah payah dibangun di negeri ini.