印度尼西亚1980年代经历了食物,尤其是大米的自给自足。当时,即使如此,世界粮食组织也向印度尼西亚政府以表彰其杰出的成就颁发了特别奖励。然而,多年以后,稻米自给自足似乎难以得到。甚至,印度尼西亚从泰国和越南等邻国进口。
在佐科•维多多总统和尤素福•卡拉副总统统治期间,印度尼西亚渴望重新得到粮食,特别是大米,辣椒,玉米和洋葱自给自足的愿望有可能立即实现。2018年初,类似农业部长安德鲁·阿兰·苏莱曼(Andi Amran Sulaiman)曾经说过,印度尼西亚揭示粮食自给自足。
这项愿望是被农业部的农业咨询和人力资源开发局负责人Momon Rusmono所重视。周日,在中爪哇,Kudus县,Kutuk村庄收获水稻以后Momon Rusmono表示,稻米进口话语并不急需,因为稻米作物目前相当丰富。
Momon Rusmono说,在全国范围内,稻米库存可能达到100万吨,所以在未来两三个月内就足以满足社区的需求。 特别是在下个月将会有收获,因此2018年国家后勤局(Bulog)吸收370万吨大米的目标很可能实现。如果发生这种情况,到明年印尼将不再缺粮,而粮食自给率目标可以实现。
印度尼西亚政府,在这方面,是农业部为实现粮食自给自足而作出了一些努力。其中包括通过2015 - 2017年度特别努力粮食自给计划,重点关注三种商品,即水稻,玉米和大豆。 另外,政府也在努力扩大种植面积。根据农业部的数据,2017年7月至9月,全国种植面积每月可达110万公顷。 与之前的特别努力计划相比,增加了两倍,每个月只有50万公顷。
印度尼西亚渴望恢复粮食特别是稻米的自给自足,当然并不是一个无法实现的宏大愿望。但是这不像转动手掌那么简单。需要政府的辛勤工作,也需要农业推广人员,农民,贸易商等利益相关方的支持.(ahm/art/pna/arj)
结束2017年会,印度尼西亚共和国总统佐科·维多多表示,印度尼西亚国家在2017年期间一直在努力工作。在他的Facebook账户上传的一则消息中,佐科·维多多总统透露,目前和未来几年,印度尼西亚民族正朝着发达国家的理想,建立优越,循序不断和尊严的印度尼西亚人民。佐科·维多多总统还标出印度尼西亚民族在迎接2018年将有新有活力和精神的希望。
自他政府开始起,佐科·维多多总统就以“工作,工作,工作”的号召,发扬了努力工作的精神。艰苦的工作必须继续执行,来实现目标。例如,今年印尼政府针对经济增长5.4%,比2017年的目标5.1%增长高于了0.3%。
有些方认为这项目标是太高了。但援引财政部长Sri Mulyani,2017年9月初的声明,5.4%的数字是乐观的,但仍然现实的。印尼民族必须乐观得到这项目标。据估计,投资于印尼之前,外国投资者将等到在171个地区举行的同时2018年地方首长选举的结果。但通过辛勤的努力,政府乐观地达到已经确定的目标。这部分是由于目前国内经济增长表现相对稳定而趋于强化。
其他的努力工作是成为国际会的东道主,即2018年8月18日至9月2日举行的第18届亚运会,以及国际货币基金组织和世界银行的年度会议。当时,亚洲和世界的关注肯定会在印度尼西亚。因此,印尼必须证明能够成功举办这两个活动。
新的精神和活力被预计将会促使印度尼西亚民族全力以赴,努力实现所有目标。无论是经济增长5.4%,与和平和安全的进行地方首长选举,以及成功主办第十八届亚运会,国际货币基金组织和世界银行年会。
与第十八届亚运会相关的,印尼可望不仅是成功成为东道主,而且也成功实现奖牌目标。至少可以成为前十名,并在体育领域取得新的成绩。所有针对只有努力工作才能实现。
在未来几个月内,在印尼的171个地方将举行同时地方首长选举。为了像往年地方首长选举发生不需要的事件不会再发生,组织者的准备就成了一项重要的关键。
同时举行的2018年地方首长选举是印尼第三次举行同时的地方首长选举。第一段是在2015年,第二是2017年举行的。定于2018年地方首长选举将于在17个省份,115个县和39个城市举办的。
根据印度尼西亚的普选委员会 ,同时2018年地方首长选举的普选选民具潜能的居民资料大约有1亿6千万人。普选委员会声称这数量使发生冲突的潜力就很大。此外,为年选举的循环预算也达到了20万亿印尼盾,在印尼地方首长选举的历史是最高的。
印度尼西亚人民希望,同时举办的2018年地方首长选举可以成功运行。希望各方包括组织者,提名地方首长候选人的政党,候选人,以及选民都能够促进国家的团结统一。
借鉴之前的地方首长选举经验,政党候选人的竞争被认为是潜引起发生的冲突。例如,如果有候选人把部落,宗教,或者集团问题中脱颖而出,而不是吸引选民的方案。希望这样的事情不会再发生。因为经过多次地方首长选举和总统选举了以后,印度尼西亚人民应该意识到团结和统一是最重要的,而不是成为领导人的野心。
VOI KOMENTAR Dua referendum, satu di Katalonia dan satu lagi di Kurdistan, dilakukan dalam waktu yang berdekatan. Keduanya berakhir dengan hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu tanpa pengakuan dari negara lain. Mahkamah Agung Spanyol menyatakan referendum Katalan ilegal, sehingga Pemerintah Spanyol akhirnya melaksanakan pasal 155 UUD. Yaitu,memberi kekuasaan Pemerintah Pusat di Madrid, mengambil alih kekuasaan pemerintah otonomi lokal di Katalonia. Hal ini dilakukan setelah ultimatum Madrid kepada para pemimpin Katalan tidak digubris, dengan mendeklarasikan kemerdekaan Katalan pada 27 Oktober lalu. Madrid pun membubarkan pemerintahan otonomi Katalonia.
Hal yang kurang lebih sama terjadi juga di Kurdistan. Pemerintah pusat Irak, tidak menerima hasil referendum yang diikuti oleh lebih dari 70% penduduk Kurdi, yang berjumlah hampir 8,5 juta jiwa. Lebih dari 90% pemilih menjawab ya untuk kemerdekaan. Hasil ini membuat berang Baghdad. Selain itu, negara-negara yang juga dihuni orang Kurdi seperti Turki dan Iran, ikut menentang referendum itu.
Para pemimpin Katalan di bawah Presiden Carles Puigdemont menghadapi tuduhan berat yaitu pemberontakan dengan ancaman hukuman sampai 30 tahun. Belgia, salah satu negara anggota Uni Eropa mengisyaratkan membuka peluang suaka bagi Puigdemont.
Lain halnya dengan Presiden Kurdistan, Massoud Barzani. Meskipun mendapat dukungan rakyat, Barzani tidak mendapat dukungan oposisi di pemerintahan otonomi Kurdistan. Partai Gorran atau Gerakan Perubahan menentang referendum. Barzani memutuskan untuk mengundurkan diri dari tampuk pimpinan daerah otonomi Kurdistan per 1 November 2017 setelah memerintah selama 12 tahun. Turki dan penentang referendum menyambut baik pengunduran diri Barzani.
Referendum yang dilaksanakan dengan penuh semangat oleh para pemilih ternyata berakhir karena ketiadaan pengakuan dari negara lainnya. Indonesia tidak mengakui pemisahan Katalan dari Spanyol. Rerendum terbukti bukan hanya sekedar memilih “Ya” dan “Tidak” untuk suatu keputusan. Proses politik yang bisa menguras energi ternyata dapat juga menjadi faktor yang ikut menentukan kelanjutan dari referendum. Tampaknya pilihan yang tersisa adalah memanfaatkan otonomi yang telah diberikan dengan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat daerah otonom.
VOI KOMENTAR Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang berdasarkan Pancasila,
VOI KOMENTAR Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi mengunjungi negara bagian Rakhine kemarin, Kamis 2 November 2017. Ini adalah kunjungannya yang pertama kali sejak wilayah yang dihuni etnis muslim Rohingya itu diguncang konflik Agustus lalu. 600 ribu muslim Rohingya terpaksa mengungsi, kebanyakan ke negara tetangganya Bangladesh, akibat konflik tersebut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi hak asasi internasional melihat bukti adanya pembersihan etnis di Rakhine. Mereka mengatakan ratusan muslim Rohingya tewas dan mayoritas warga etnis Rohingya terusir dari tanah kelahirannya dengan cara pembakaran rumah, pemerkosaan dan pembunuhan.
Sebaliknya, pemerintah Myanmar mengatakan pihaknya sedang memerangi teroris Rohingya, yang melancarkan serangan terhadap pos-pos keamanan dan menewaskan belasan orang.
Dengan penjagaan ketat, Aung San Suu Kyi mengunjungi Maungdaw, wilayah yang paling parah terdampak kekerasan. Disana peraih penghargaan Nobel perdamaian itu bertemu dengan para ulama muslim. Menurut laporan kantor berita AFP ada tiga pesan yang disampaikan Suu Kyi kepada mereka, yaitu mereka harus hidup damai, pemerintah akan membantu mereka, dan mereka tidak boleh saling bertengkar.
Meskipun sejak partainya menang pemilu 2015, Suu Kyi secara de facto adalah kepala pemerintahan Myanmar, kekuasaannya dibatasi konstitusi yang dibuat oleh junta militer sebelumnya. Militer memiliki hak veto atas undang-undang, menguasai beberapa kementerian yang strategis, keamanan dan pertahanan. Pihak militer melancarkan operasi di Rakhine, dan Aung San Suu Kyi tidak punya kuasa untuk menghentikannya.
Dengan kekuasaan yang terbatas itu, Suu Kyi menghadapi kritik internasional. Sebagai pejuang demokrasi, ia dianggap lamban dalam merespon pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine. Di lain pihak, ia juga akan menghadapi tentangan mayoritas warga Myanmar, jika ia membela warga Rohingya. Sebagian besar penduduk Myanmar setuju dengan klaim pemerintahnya, bahwa Rohingya bukan penduduk asli Myanmar , melainkan imigran gelap dari Bangladesh. Faktanya, meski mungkin benar berasal usul dari Bangladesh, mereka sudah tinggal di sana selama beberapa generasi , dan jumlahnya pun telah mencapai lebih dari 1,5 juta orang.
Kunjungan Aung San Suu Kyi ke Rakhina diharapkan ditindaklanjuti dengan penghentian kekerasan terhadap etnis Rohingya. Hingga kini arus pengungsi Rohingya terus mengalir walaupun tak sebanyak sebelumnya. Tidak ada cara lain bagi militer Myanmar, selain bekerja sama dengan pemerintah sipil, dalam mengatasi krisis kemanusiaan berkepanjangan ini.
Atas nama kemanusiaan militer Myanmar harus melindungi etnis Rohingya di Myanmar. Mereka tentu tidak ingin perhatian teroris internasional mengarah ke Myanmar dan menimbulkan persoalan baru disana. Negara yang baru lepas dari sanksi ekonomi ini harus mampu mengatasi persoalan dalam negeri yang mungkin dapat menghambat investasi dan transisi demokrasi yang sedang berjalan.