30
November

 

VOInews.id- Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan bahwa campur tangan apa pun terhadap urusan internal Rusia akan dianggap aksi "agresi" "Kita menganggap campur tangan pihak luar, provokasi dengan tujuan memicu konflik antaretnis atau antaragama sebagai tindakan agresif terhadap negara kita," kata Putin dalam sidang pleno Dewan Rakyat Rusia Sedunia di Moskow. Putin menyatakan segala upaya yang "mengobarkan terorisme dan ekstremisme di Rusia sebagai alat untuk melawan kita, akan kami lawan dengan tepat."

 

"Saya yakin kita semua ingat, dan harus ingat, pelajaran dari Revolusi 1917, yang berlanjut ke Perang Saudara, dan disintegrasi Uni Soviet pada 1991" yang menjerumuskan Rusia ke dalam kekacauan sehingga memakan banyak korban jiwa dan kehancuran serta penderitaan dalam masyarakat, tambah Putin. Konflik yang muncul setelah bubarnya Imperium Rusia dan Uni Soviet masih belum terselesaikan, kata Putin. Dia menegaskan Rusia modern “sedang mengklaim kembali, mengkonsolidasikan dan meningkatkan kedaulatannya sebagai kekuatan global."

 

"Kita memiliki tujuan ambisius di depan kita, dan mewujudkannya memerlukan upaya terpadu, dan kita siap untuk itu. Kita semakin kuat. Wilayah historis kita telah kembali ke pangkuan Rusia. Rakyat menolak segala hal dangkal dan beralih ke nilai-nilai yang benar dan sejati," kata Putin. Putin menegaskan bahwa di Rusia meski agama dipisahkan dari negara, agama tak dapat dipisahkan dari masyarakat, yang merupakan bagian organiknya.

 

Saat ini, “perjuangan Rusia menegakkan kedaulatan dan keadilan adalah salah satu bentuk pembebasan nasional,” tergantung kepada “hak historisnya menjadi Rusia yang kuat, mandiri dan beradab," tegas Putin. "Keberagaman dan kesatuan budaya, tradisi, bahasa dan etnis kita tidak sesuai dengan logika dengan Barat si rasis dan penjajah," kata dia. Tujuan sebenarnya Barat adalah “memecah-mecah dan menjarah Rusia," tegas Putin, seraya memperingatkan bahwa upaya-upaya seperti itu akan dibalas dengan setimpal. Dewan Rakyat Rusia Sedunia adalah organisasi publik internasional dan forum bagi orang-orang yang bersatu karena peduli masa kini dan masa depan Rusia.

 

Antara

29
November

 

VOInews.id- Raja Yordania Abdullah II pada Selasa (28/11) menegaskan kembali bahwa negaranya menolak upaya apa pun untuk memisahkan Tepi Barat dari Jalur Gaza. Dalam sebuah pesan kepada pemimpin Komite Pelaksanaan Hak-Hak yang Tidak Dapat Dicabut dari Rakyat Palestina (CEIRPP), Raja Abdullah II memastikan bahwa baik Tepi Barat maupun Jalur Gaza "adalah negara Palestina." “Nilai-nilai semua agama ilahiah dan nilai-nilai kemanusiaan kita menolak pembunuhan warga sipil,” tambahnya, menurut Pengadilan Kerajaan Yordania.

 

Dia menyatakan: "Serangan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza melanggar hukum humaniter internasional dan akan memicu kekerasan dan kehancuran lebih lanjut di wilayah itu dan dunia." Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina "muncul di bawah situasi luar biasa yang menyeru seluruh dunia untuk bertindak menghentikan perang dan memaksa Israel untuk mencabut blokade di Jalur Gaza," lanjut Raja.

 

Raja juga menegaskan kembali penolakan Yordania mengenai "pendudukan kembali sebagian wilayah Gaza atau membangun zona penyangga di dalamnya, serta memisahkan Tepi Barat dari Gaza." Rakyat Palestina dan pendukung mereka di seluruh dunia akan merayakan Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina pada Rabu. Hari ini menandai resolusi Majelis Umum PBB pada 1947 yang meminta pemisahan Palestina menjadi negara bagian Arab dan Yahudi. Israel meluncurkan serangan militer besar-besaran di Jalur Gaza setelah serangan lintas batas oleh Hamas pada 7 Oktober. Sejak itu sebanyak 15.000 warga Palestina terbunuh, termasuk 6.150 anak-anak dan 4.000 wanita menurut otoritas kesehatan di wilayah kantung tersebut. Jumlah korban resmi di Israel mencapai 1.200 orang.

 

Antara

29
November

 

VOInews.id- Perundingan kesepakatan baru tentang jeda kemanusiaan jangka panjang dalam pertempuran di Jalur Gaza berlangsung di Qatar, menurut Perusahaan Penyiaran Publik Israel (KAN) pada Selasa (28/11). KAN menyebutkan bahwa jeda tersebut akan mencakup pelepasan seluruh sandera Israel di Jalur Gaza, termasuk tentara, dan pembebasan tahanan Palestina oleh Israel, termasuk beberapa orang yang telah "divonis" karena membunuh warga Israel.

 

Laporan media tersebut mengungkapkan bahwa kelompok Hamas Palestina menyampaikan persetujuannya terhadap garis besar perjanjian baru tersebut, tetapi menambahkan pula pihak Hamas meminta "gencatan senjata total," yang masih ditolak oleh Israel. Media Israel melaporkan bahwa perundingan tersebut dilakukan oleh kepala agen mata-mata Mossad Israel David Barnea, kepala Badan Intelijen Pusat AS William Burns, Direktur Badan Intelijen Umum (GIS) Mesir Abbas Kamel dan Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdul Rahman Al Thani.

29
November

 

VOInews.id- Indonesia menegaskan kembali pentingnya negara-negara di dunia mendesak gencatan senjata permanen untuk membela keadilan dan kemanusiaan bagi warga di Jalur Gaza. Berbicara dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, Selasa (28/11), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa jeda kemanusiaan yang telah disepakati antara Israel dan kelompok Hamas Palestina, tidak cukup. “Yang diperlukan adalah sebuah gencatan senjata yang permanen agar nyawa dapat diselamatkan dan bantuan kemanusiaan yang diperlukan dapat diberikan,” kata Menlu Retno ketika menyampaikan keterangan pers secara virtual dari New York.

 

Dia kemudian mengajak semua negara untuk meningkatkan bantuan kemanusiaan bagi warga Gaza, serta memastikan agar bantuan tersebut bisa disalurkan tanpa hambatan. “Negara dunia harus membantu UNRWA dan lembaga kemanusiaan lainnya agar dapat membantu 1,7 juta pengungsi di Gaza. Dari sisi Indonesia, saya sampaikan komitmen Indonesia untuk meningkatkan bantuan, termasuk kesiapan mengirimkan kapal rumah sakit,” tutur dia.

 

Antara

Page 56 of 1161