Pada Jumat malam (20/9) Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan keputusannya untuk menunda pembahasan dan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Presiden menyatakan sikapnya setelah mencermati masukan dari kalangan yang keberatan sejalan dengan munculnya polemik di tengah-tengah masyarakat. Menurutnya ada materi-materi kontroversial setidaknya di 14 pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jokowi selanjutnya memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly untuk menyampaikan sikap pemerintah ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dia juga meminta pembahasan RKUHP dilanjutkan anggota DPR periode 2019-2024.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebenarnya telah melewati tahap pengambilan keputusan tingkat I di DPR. DPR bersama pemerintah telah untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk segera disahkan dalam rapat paripurna DPR 24 September mendatang. Kesepakatan diambil dalam Rapat Kerja Pembahasan Tingkat I RKUHP yang dilakukan Komisi III DPR bersama Menteri Hukum dan Hakl Asasi Manusia Yasonna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu (18/9/2019).
Namun keputusan itu mendapat penolakan yang luas di masyarakat. Sejumlah pasal yang terdapat di dalam RKUHP dinilai bertentangan dengan amanat reformasi dan kebebasan berekspresi. Demonstrasi besar kemudian dilakukan aktivis dan mahasiswa di depan Gedung DPR pada Kamis (19/9/2019).
RKUHP memuat sejumlah pasal yang dinilai masyarakat sipil justru mengancam demokratisasi di Indonesia.
Ada beberapa Pasal yang dianggap kontroversial, salah satunya adalah pasal penghinaan presiden. Pasal ini sempat digugurkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu. Namun kembali muncul dalam draf RKUHP per 28 Agustus 2019. Penghinaan presiden diatur pada pasal 2018-220.
Orang yang terbukti melakukan penghinaan terhadap presiden diancam pidana hingga 4,5 tahun penjara.
Draf RKUHP juga mengancam hukuman denda bagi gelandangan. Aturan ini dimuat pada Pasal 432 tentang penggelandangan dalam draf RKUHP 28 Agustus 2019.
Ketentuan itu dianggap bertentangan dengan amanat reformasi, demokrasi dan hak asasi manusia. Padahal Undang-Undang dibuat untuk memberikan perlindungan hukum, hak asasi dan rasa keadilan dan keamanan bagi masyarakat.
Jadi, alangkah bijaknya apabila Dewan Perwakilan Rakyat, periode 2014-2019 tidak memaksakan diri untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sebenarnya sudah pernah dibahas oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum mereka.