Innalillahi wainnailaihi rajiun, telah meninggal dunia Pak Jul Chaidir, pada 20 Mei 2020, jam 11.50 di RSAL Mintoharjo. Mohon dibukakan pintu maaf yang selua-luasnya untuk almarhum.
Jul Chaidir adalah bagian dari perjalanan Voice of Indonesia. Ia pernah memimpin Voice of Indonesia selama 4 tahun sejak tahun 1984. Berita duka ini tentu membuat orang-orang yang pernah mengenalnya, merasa kehilangan sangat.
Salah satu diantaranya Kabul Budiono, yang juga pernah memimpin Voice of Indonesia. Dalam pesannya melalui whatsapp kepada penulis, Kabul Budiono menuliskan kenangannya tentang Jul Chaidir yang wafat dalam usia hampir 88 tahun.
“Almarhum Jul Chaidir adalah salah seorang inspirator saya menjadi penyiar di RRI. Style bersiaran almarhum saya tiru karena tone suaranya yang disertai air personality yang sejuk.”, tulis Kabul Budiono.
“Saya beruntung karena mendapat kesempatan Allah melanjutkan perjuangannya memimpin RRI siaran Luar Negeri Voice of Indonesia. Terselenggaranya Quiz Internasional VOI dan Bilik Sastra yang mendatangkan pemenang Cerpen yang pada awalnya adalah hanya para TKI, termotivasi dari Jul Chaidir.’ tambah Kabul Budiono.
Selain berkarya sebagai penyiar RRI dan pembaca berita TVRI, Jul Chaidir juga menulis beberapa lagu. “Restumu Kunantikan” yang pernah dipopulerkan oleh beberapa penyanyi terkenal Indonesia seperti Broery Marantika dan Alfian, adalah salah satu karyanya .
Untuk mengenang beliau, kami sajikan artikel mengenai Jul Chaidir yang pernah diterbitkan dalam newsletter VOI tahun 2014, yang ditulis oleh Andy Romdony.
“Walaupun kita tidak akan mendapatkan bintang penghargaan tapi kita telah melakukan tugas kita sebagai satu sekrup kecil dalam percaturan internasional”
Pada suatu siang akhir bulan Mei 2014, tim newsletter Voice of Indonesia (VOI) berkunjung ke kediaman salah satu angkasawan Radio Republik Indonesia di bilangan Jakarta Selatan. Sosok itu bernama Jul Chaidir. Tim diterima oleh sosok lelaki tua bertongkat yang ternyata adalah narasumber yang memang akan kami temui. Jul Chaidir bercerita tongkat tersebut telah menemaninya selama bertahun-tahun. Penyakit syaraf tulang belakang yang dideritanya mengharuskan ia berteman akrab dengan sang tongkat.
Terlepas dari keberadaan tongkat yang setia menemaninya, Jul Chaidir tampak gagah di usianya yang hampir menginjak 82 tahun. Dirinya telah memasuki masa purnabakti sejak tahun 1992. Karirnya sebagai angkasawan dimulai pada tahun 1956. Ia memulai karir sebagai penyiar di RRI Jakarta.
“Untuk menjadi penyiar ini memang pekerjaannya tidak begitu gampang seperti yang kita dengar. Karena kita menyampaikan kepada pendengar itu bermacam-macam hal yang tidak ada dalam sekolah atau pengetahuan sehari-hari, itu ngga pernah kita ketahui, jadi saya harus banyak membaca,” ujarnya.
Meskipun telah mengikuti pelatihan kepenyiaran selama 3 bulan, Jul Chaidir mengakui dirinya pernah mendapat teguran ketika salah menyebutkan nama salah seorang pencipta lagu berkebangsaan Perancis diawal karirnya sebagai penyiar. Teguran tersebut menyadarkan pria kelahiran 2 Juli 1932 ini bahwa profesi penyiar tidak hanya mengandalkan kemampuan berbicara namun juga harus mampu berkomunikasi. “.....to communicate ideas, information and emotion to listeners. Jadi kita adalah komunikator.”
Ketertarikannya pada radio sudah dirasakannya sejak ia masih sangat muda. Jul Chaidir muda seringkali mendengarkan siaran radio yang diputar tetangganya dengan suara yang keras. Pada masa revolusi Indonesia kala itu, siaran yang bisa ditangkap di daerah kelahirannya di Padang hanya siaran dari negeri jiran, Malaysia. Belum ada siaran dari Jakarta yang bisa dinikmati.
Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat atas, Jul Chaidir semakin mencintai radio. Siaran RRI menjadi salah satu kegemarannya. Kala itu program Ibukota Hari Ini dari RRI Jakarta serta acara sastra menarik perhatiannya.
“Enak mendengarnya. Bermacam-macam orang membacakan karya dari pendengar. Tertarik dan pengen juga liat-liat di RRI,” kisahnya.
Perjalanan Karir Sebagai Angkasawan
Setelah bersiaran selama kurang lebih 15 tahun dalam karirnya sebagai angkasawan RRI, Jul Chaidir mendapatkan kesempatan untuk membantu salah satu radio asing di Inggris. Pengalaman bekerja di British Broadcasting Corporation (BBC) menjadi kenangan tak terlupakan selama karirnya. Selama kurang lebih 4 tahun Jul Chaidir bekerja di BBC Seksi Indonesia.
“Selain dari memperbaiki bahasa inggris yang compang-camping, saya dapat kesempatan untuk melihat bagaimana suatu organisasi radio yang mempunyai reputasi internasional menyelenggarakan siaran,” tuturnya.
Kembali ke Indonesia pada awal tahun 1975, Jul Chaidir dipercaya menjadi Kepala Produser di RRI Jakarta selama 6 tahun yang kemudian dilanjutkan mengepalai stasiun RRI Bukittinggi. Disana dirinya mendapatkan pengalaman dalam memahami kultur budaya masyarakat.
“Saya dulu sering merokok. Rokok saya dulu Bentoel. Bentoel itu warna biru. Saya suruh salah seorang dari pesuruh disitu ‘tolong beliin saya Bentoel biru’. Dia bilang Bentoel Hijau pak? Jadi rupanya disana yang biru itu dibilang hijau,” ujarnya.
Adanya perbedaan persepsi di tiap daerah mengenai banyak hal melekat di kepala Jul Chaidir. Ingatan itu ia bawa ketika mengepalai Voice of Indonesia. Menjadi orang yang dipercaya memimpin stasiun siaran luar negeri milik RRI memberikan tantangan baginya.
“Apa yang ingin kita siarkan ke luar negeri. Apakah yang mereka inginkan atau apa yang kita perlukan? Ada yang kita perlukan untuk disiarkan tapi bagi pendengar ngga begitu dibutuhkan.”
Kepercayaan memimpin Stasiun Siaran Luar Negeri diterimanya dengan penuh tanggung jawab. Dirinya mengakui kala itu stasiun siaran yang dipimpinnya mempunyai banyak kekurangan.
“Waktu itu semua serba terbatas. Sistem waktu itu juga tidak sama dengan sistem teknologi sekarang. Tapi karena saya diberikan tugas, ya saya harus menjalankan dengan sebaik-baiknya dengan segala kekurangan dan kelebihan. Dulu tidak mudah mencari sumberdaya manusia untuk bersiaran dengan bahasa asing.”
Kesulitan tersebut benar-benar ia alami ketika diminta untuk memperluas siaran luar negeri RRI dengan menambah 9 layanan bahasa yang sudah ada menjadi 10 layanan bahasa.
“Dulu kita pernah diminta menambah jam siaran dengan siaran bahasa Spanyol oleh Direktorat Radio Televisi dan Film. Itu kami kesulitan mencari tenaga penyiarnya karena untuk menyelenggarakan siaran diperlukan penterjemah, diperlukan pembaca naskah, dan itu ngga mungkin 1 orang paling sedikit 2 orang,” kisahnya.
Dengan semua keterbatasan yang ada, Jul Chaidir mengaku gemar mendengarkan siaran luar negeri RRI karena dirinya menikmati siaran berbahasa asing yang menurutnya disampaikan dengan luwes.
“Saya dulu waktu masih di RRI Jakarta sering memperhatikan kalau ada senior-senior siaran. Misalnya ada Bu Pujo Semedi, ada Joop Ave. Saya sering nonton dulu kalau mereka siaran, karena siaran Inggrisnya itu, cara menyampaikan Bahasa Inggrisnya itu enak didengar oleh saya. Jadi sudah tertarik dengan bahasanya.”
Setelah 4 tahun memimpin stasiun luar negeri RRI, Jul Chaidir meneruskan karirnya sebagai widyaiswara yang bertanggung jawab meningkatkan kualitas angkasawan muda RRI dalam mengembangkan potensi diri. Sebelum memasuki masa purnabakti Jul Chaidir juga sempat dipercaya memimpin Stasiun RRI Banjarmasin selama 3 tahun.
RRI World Service Adalah Radio Perjuangan
Keberadaan Radio Republik Indonesia dimata Jul Chaidir bukan hanya sebagai sarana menyampaikan informasi kepada masyarakat. Menurutnya RRI juga memegang peran penting dalam perjuangan bangsa Indonesia.
“Kita lihat dulu bahwa RRI ini tidak saja harus memberikan penerangan kepada masyarakat Indonesia tetapi juga karena perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ini juga dulu didukung oleh adanya siaran Bahasa Inggris yang disiarkan keluar negeri. Dulu namanya itu Voice of Free Indonesia.”
Voice of Free Indonesia yang kemudian berubah menjadi Voice of Indonesia menjadi tonggak penting untuk mendiplomasikan posisi Indonesia ditengah percaturan global.
“Dulu diselenggarakan oleh masyarakat, oleh para pejuang yang menyelenggarakan siaran ke luar negeri untuk memperkenalkan, untuk memperjuangkan Indonesia ini diluar negeri terutama di PBB. Penerangan itu tidak cukup hanya diberikan oleh Kedutaan Besar diluar negeri saja, perlu bantuan dari hal lain,” ujarnya.
Peran penting Siaran Luar Negeri RRI menurut Jul Chaidir semakin terasa ketika kepentingan bangsa menjadi taruhan ditengah persaingan global. Banyaknya isu-isu internasional yang melibatkan banyak negara membutuhkan pihak yang mampu memberikan informasi, tidak hanya secara adil namun juga dengan dapat mempertahankan posisi negara ditengah konflik dunia.
“Setiap kantor berita itu melihat dan menafsirkan suatu kejadian dari sudut pandang masing-masing. Satu kasus tidak akan dilihat dari sudut pandang yang sama. Kalau keadaan Indonesia dilepaskan kepada kantor-kantor berita asing itu bahaya. Oleh karena itu perlu ada pihak yang memberikan informasi yang benar tentang Indonesia, inilah yang dilaksanakan oleh Stasiun Siaran Luar Negeri Voice Of Indonesia.”
Melaksanakan siaran ke luar negeri dengan pendengar yang memiliki karakter yang berbeda dengan pendengar di dalam negeri tentu memiliki tantangan tersendiri. Menurut Jul Chaidir kemampuan angkasawan RRI di Stasiun Siaran Luar Negeri dalam mengenal karakter pendengar diperlukan untuk penguatan kualitas siaran.
“Siaran internasional akan mempunyai kriteria baik jika bisa masuk dalam persepsi masyarakat diluar negeri. Kita harus bisa dengan sebaik-baiknya menyampaikan apa yang perlu mereka ketahui tentang indonesia, cara hidup, budaya dan lainnya sehingga mereka bisa betul-betul mengerti tentang indonesia melalui Siaran Luar Negeri RRI,” tuturnya.
Ditengah kemajuan zaman saat ini Jul Chaidir menilai Stasiun Siaran Luar Negeri RRI telah mampu mengimbangi dengan teknologi yang telah berkembang. Namun demikian dirinya percaya tantangan akan semakin berat seiring kemajuan zaman.
Kunjungan tim newsletter VOI siang itu pun diakhiri dengan harapannya agar Stasiun Siaran Luar Negeri yang pernah dipimpinnya ini akan terus mampu menjalankan tugas dan amanah yang diberikan, sehingga semakin banyak masyarakat asing yang mengenal keindahan Indonesia.
“Walaupun kita tidak akan mendapatkan bintang penghargaan tapi kita telah melakukan tugas kita sebagai satu sekrup kecil dalam percaturan internasional.”— (andy Romdoni/nouva)