(voinews.id)- Peru memperpanjang keadaan darurat di Ibu Kota Lima dan dua wilayah lainnya selama 30 hari. Kebijakan itu diambil setelah protes maut terhadap pemerintah memicu kekerasan terburuk di negara itu. Pada Desember, Peru mengumumkan keadaan darurat nasional selama sebulan setelah demonstrasi pecah atas penggulingan mantan Presiden Pedro Castillo, yang berusaha membubarkan Kongres dan memerintah melalui dekret.
Bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan telah merenggut lebih dari 40 nyawa dalam beberapa pekan terakhir. Perpanjangan status darurat tersebut memberi wewenang khusus kepada polisi dan membatasi kebebasan, termasuk hak untuk berkumpul. Pemerintah juga menerapkan jam malam di Ibu Kota Lima dan dua wilayah lainnya, yaitu Puno dan Cusco. Dalam aksi jalan kaki di Lima pada Sabtu (14/1), para pengunjuk rasa mengibarkan bendera nasional di samping spanduk berbingkai hitam sebagai tanda berkabung.
Mereka juga mengecam Presiden Dina Boluarte, yang sehari sebelumnya telah meminta maaf atas kematian pengunjuk rasa dan meminta penyelidikan atas insiden itu. Protes terhadap Presiden Dina Boluarte, yang sebelumnya menjabat wakil presiden di bawah Castillo, meluas sejak mantan Presiden Pedro Castillo dicopot dari jabatan. "Dia munafik," kata pengunjuk rasa bernama Tania Serra ketika berbicara di tengah teriakan massa, yang berdesak-desakan dengan polisi --yang dilengkapi perlengkapan antihuru hara.
"Dia bilang maaf, maaf, tapi dia tidak keluar untuk berbicara, dia mengirim polisi, tentara untuk membunuh," katanya soal Dina Boluarte. Pada 12-13 Januari, jajak pendapat oleh Ipsos Peru yang diterbitkan di surat kabar Peru 21 pada Minggu (15/1) mencatat 71 persen orang Peru tidak menyetujui pemerintahan Presiden Dina Boluarte. Para pengunjuk rasa mendesak Presiden Boluarte untuk mundur dari jabatannya. Mereka juga meminta Pedro Castillo, yang ditangkap karena "pemberontakan", dibebaskan.
Sumber : Reuters