(voinews.id)- Lebih dari 1,5 juta orang telah mengungsi dalam dua tahun terakhir dan lebih dari lima juta anak sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan di Myanmar, kata Dana Anak PBB (UNICEF) pada Selasa. Pada 1 Februari 2021, pemerintahan Aung San Suu Kyi digulingkan dalam kudeta militer setelah partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi, memenangi pemilihan umum pada November 2020. "Lebih dari 1,5 juta orang di Myanmar telah mengungsi, dan anak-anak terpaksa meninggalkan rumah dan komunitas mereka," kata UNICEF melalui Twitter.
Terlepas dari protes oleh komunitas internasional dan kelompok hak asasi manusia (HAM), perpindahan penduduk Myanmar terus berlanjut di beberapa daerah di tengah operasi rezim junta terhadap oposisi. Pekan lalu, sekitar 20.000 warga sipil mengungsi di Negara Bagian Karen selama pertempuran antara pemberontak dan militer di dekat Kawkareik, menurut laporan media lokal Myanmar Now. Menurut laporan PBB baru-baru ini, sedikitnya 2.890 orang tewas di tangan militer dan mereka yang bekerja pada militer, sementara 767 orang ditahan sejak militer mengambil alih kekuasaan.
“Informasi yang kredibel menunjukkan bahwa lebih dari 34.000 bangunan sipil, termasuk rumah, klinik, sekolah, dan tempat ibadah, telah dibakar selama dua tahun terakhir. Perekonomian Myanmar telah runtuh dan hampir setengah dari populasinya sekarang hidup di bawah garis kemiskinan,” kata Komisaris Tinggi HAM PBB Volker Turk.
Amnesty International dalam laporannya pada November mengungkapkan bahwa jumlah pengungsi melebihi 1,4 juta jiwa, sementara 12.839 orang ditahan dalam kondisi yang tidak manusiawi di Myanmar. Setidaknya 73 orang masih menunggu hukuman mati, dan 7,8 juta anak tidak bersekolah, kata lembaga non-pemerintah (LSM) HAM itu. "Militer Myanmar telah membunuh ratusan pengunjuk rasa dan warga yang melihat unjuk rasa, dan ribuan lainnya tewas akibat konflik bersenjata di seluruh negeri sejak kudeta," kata Amnesty International dalam pernyataannya.
Pada Hari Nasional Myanmar November lalu, junta militer membebaskan 5.744 tahanan dengan amnesti, termasuk mantan Duta Besar Inggris Vicky Bowman dan suaminya Ko Htein Lin, pembuat film Jepang Toru Kubota, dan Sean Turnell, serta seorang ekonom Australia yang menjabat sebagai penasihat Suu Kyi ketika dia memerintah. Namun, tahanan lain, termasuk Suu Kyi dan pemimpin politik senior lain dari partainya, tidak diberikan amnesti.
Dalam upaya menangkis tekanan dan kritik internasional, militer Myanmar pekan lalu berjanji akan menggelar pemilu pada Agustus. Namun, militer baru-baru ini mengumumkan beberapa aturan ketat yang melarang kandidat memiliki kaitan dengan penentang junta. Kantor Sekretaris Jenderal PBB menyatakan keprihatinannya pada rencana junta untuk menggelar pemilu di tengah pengeboman udara dan pembakaran rumah warga sipil, serta penangkapan, intimidasi, dan pelecehan terhadap para pemimpin politik, aktor masyarakat sipil, dan jurnalis.
“Tanpa syarat yang memungkinkan rakyat Myanmar bebas menggunakan hak politik mereka, pemilihan yang diusulkan (junta) berisiko memperburuk ketidakstabilan,” kata Stephane Dujarric, juru bicara Sekjen PBB Antonio Guterres, dalam sebuah pernyataan, Senin (30/1). PBB juga menuduh penguasa militer mengincar warga sipil, menggunakan angkatan udara, dan membakar desa-desa.
“Meskipun ada kewajiban hukum yang jelas bagi militer untuk melindungi warga sipil dalam melakukan tindakan permusuhan, telah terjadi pengabaian yang konsisten terhadap aturan hukum internasional," tutur Turk. "Sulit untuk menghindar, warga sipil telah menjadi sasaran serangan yang sebenarnya--korban serangan artileri dan serangan udara yang direncanakan dan dilakukan tanpa pandang bulu, eksekusi di luar hukum, penyiksaan, dan pembakaran seluruh desa,” katanya, menambahkan.
“Pada saat yang suram ini, saya ingin mengakui keberanian semua orang yang nyawanya telah hilang dalam memperjuangkan kebebasan dan martabat di Myanmar, serta rasa sakit dan penderitaan keluarga dan orang-orang yang mereka kasihi,” kata Turk.
Sumber: Anadolu