VOI Komentar Membuka tahun 2018, pada 23 Januari, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK kembali melakukan kejutan dengan menetapkan status tersangka kepada seorang kepala daerah. Sang pejabat disangkakan menerima suap dan gratifikasi terkait pelaksanaan proyek di lingkungan pemerintahannya. Di sini, pada satu sisi masyarakat melihat dengan jelas bagaimana kapasitas yang ditunjukkan lembaga anti rasuah itu. KPK begitu gagah, dengan dukungan semua pihak, menindak mereka yang menyelewengkan kewenangannya. Namun di sisi lain timbul pertanyaan, mengapa masih ada saja yang melakukan korupsi?. Padahal, data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan adanya ratusan kasus korupsi oleh kepala daerah yang dijerat KPK sejak tahun 2004 sampai 2017. Ini seharusnya sudah lebih dari cukup untuk mengingatkan siapa pun itu agar tidak bermain api.
Dalam beberapa tahun pertama otonomi daerah diberlakukan, beredar sebutan raja-raja kecil untuk para kepala daerah. Hal itu wajar saja mengingat kewenangan mereka menjadi lebih luas. Dampak positif dari semangat demokrasi di era Reformasi tersebut ditujukan untuk percepatan pembangunan di setiap daerah. Tdak lagi berorientasi pada kepentingan Pusat, setiap daerah diberi wewenang untuk mempercepat pembangunan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Sayangnya, seiring ini, muncullah godaan-godaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Tak heran langkah KPK yang memberantas penyalahgunaan wewenang oleh raja-raja kecil tersebut sangat disyukuri oleh rakyat Indonesia.
Upaya pemberantasan korupsi kini relatif tidak lagi menemui hambatan yang berarti, karena didukung seluruh lapisan masyarakat disamping kuatnya dasar hukum yang melandasinya. KPK tampaknya akan terus melakukan gebrakan tanpa rasa takut dalam upaya pemberantasan korupsi. Sekarang tinggal bagaimana agar upaya pencegahan juga gencar dilakukan. Seperti misalnya, dengan memaksimalkan keberadaan unit pengawas internal untuk dilibatkan dalam pelaksanaan setiap proyek.
Selain itu, mungkin perlu dikaji kembali sistem demokrasi dalam pemilihan kepala daerah, terutama dalam hal biaya besar yang harus dikeluarkan para kontestan dan pendukungnya. Ini terbukti berdampak pada tindak korupsi yang dilakukan sebagian para kepala daerah, baik petahana maupun yang baru terpilih.
Memang setiap negara memiliki kekhasan masing-masing dalam berdemokrasi. Sehingga model demokrasi di satu negara tidak bisa diadopsi mentah-mentah, apalagi dipaksakan ke negara lainnya. Namun demokrasi hendaknya tidak hanya menjadi sebuah kemasan atas sesuatu yang buruk. Jika demikian halnya, pekerjaan KPK tidak akan ada habisnya, dan ini bukanlah berita yang menyenangkan. Korupsi akan terus berulang jika penyebabnya atau sumber masalah tidak teridentifikasi dengan baik, untuk segera dicarikan penyelesaiannya.