Pengaruh Republik Rakyat Tiongkok di Asia yang semakin kuat melalui Prakarsa Satu Sabuk, Satu Jalan (One Belt, One Road Policy), rupanya menimbulkan situasi kurang nyaman bagi Uni Eropa. Alasannya antara lain, inisiatif RRT itu menciptakan beban utang bagi Negara yang ikut program tersebut.
Beberapa Negara Asia sudah masuk dalam skema kerjasama itu. Sri Lanka, misalnya membangun pelabuhan bernilai hampir 1,5 milyar dollar AS. Negara itu ternyata tidak dapat mengembalikan pinjaman dan harus menyerahkan kendali atas pelabuhan itu sampai tahun 2116 alias 99 tahun.
Proyek lain di Malaysia ditangguhkan oleh pemerintahan PM Mahatir Mohamad. Sedang di Indonesia, proyek kereta cepat yang dibiayai RRT pun belum memperlihatkan kemajuan yang signifikan dan cenderung dikritisi.
Negara Asia lain seperti Pakistan, meski masih membuka peluang, namun mulai mempertimbangkan berbagai hal sebelum meneruskan proyek dengan RRT.
Mengapa Uni Eropa kemudian menaruh perhatian lebih kepada Asia? Asia memang telah menjadi kawasan yang berkembang dinamis. Populasi seluruhnya mencapai sekitar 4,5 milyar orang termasuk 600 juta orang di ASEAN, kawasan yang menjadi salah satu motor ekonomi dunia. Populasi yang besar dapat menjadi potensi pasar yang besar bagi Uni Eropa, yang pertumbuhannya tidak terlalu menggembirakan. Uni Eropa sadar bahwa pengaruh RRT tidak mudah dibendung begitu saja karena RRT royal membantu kawasan, sementara Uni Eropa dengan aneka masalahnya tidak semudah itu menggelontorkan dana besar membendung RRT.
Apa yang ditawarkan Uni Eropa ke Asia? Konon perluasan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi dengan menekankan pada standar lingkungan dan standar sosial. Bagi UE, ini menjadi titik lemah RRT. UE mengharapkan anggotanya mendukung Strategi Konektivitas Asia. Rencananya draft ini akan menjadi salah satu pokok bahasan pertemuan Puncak para pemimpin UE dan Asia bulan Oktober.
Tentunya tidak diharapkan rivalitas dalam prakarsa baik dari RRT maupun dari Uni Eropa, menciptakan konflik baru di kawasan. Karena sebaiknya memang bukan rivalitas untuk saling menjatuhkan, namun lebih kepada kompetisi untuk mengembangkan kerjasama multilateral di Asia yang
sedang dikoyak oleh Presiden AS, Donald Trump.