Pendidikan sangat berperan penting dalam kemajuan dan pembangunan suatu bangsa. Karena itu dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi, harus mendapat perhatian besar baik dari pemerintah maupun masyarakat. Para lulusannya diharapkan akan menjadi modal atau sumber daya dalam mengembangkan negara. Namun, harapan ini seringkali tidak sejalan dengan kenyataan. Pada saat ini, bukan rahasia lagi jika ada banyak lulusan Perguruan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan.
Penumpukan lulusan perguruan tinggi yang menganggur ditengarai disebabkan banyaknya kampus yang kurang inovatif. Untuk itu MenteriRiset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mendorong kampus untuk berinovasi dalam berbagai bidang. Menumpuknya sarjana yang menganggur merupakan dampak dari kampus yang lamban berinovasi.
Salah satu indikasinya, ketika sebuah perguruan tinggi membuka program studi (prodi) baru, maka perguruan tinggi yang lain ikut-ikutan membuka program yang sama. Padahal kebutuhan akan lulusan program tersebut tidaklah terlalu signifikan. Akibatnya ada banyak lulusan,sementara permintaan atau kebutuhan di lapangan kecil.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya kampus bisa berpikir ke depan dan menginisiasi prodi baru yang benar-benar dibutuhkan. Saat ini, bukan hal yang aneh jika ada banyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja tidak sesuai dengan bidang akademiknya. Ada banyak anak muda yang membuka usaha dan bekerja di luar bidang studinya. Hal ini sah-sah saja, setidaknya dapat mengurangi angka pengangguran atau bahkan membuka peluang kerja bagi orang lain. Namun bila diingat waktu kuliah yang dihabiskan untuk program studi yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan lapangan kerja yang kemudian ditekuni, sungguh tidak ideal, kalau tidak mau dikatakan pemborosan waktu dan biaya.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada Agustus 2018 jumlah pengangguran di Indonesia berkurang 40 ribu orang dibandingkan bulan Agustus 2017. Artinya ada perbaikan dari tahun sebelumnya.
Sayang, menurut pemetaan penyerapan tenaga kerja, serapan level sarjana masih memprihatinkan, hanya sekitar 17,5%. Angka ini jauh lebih kecil dari level non-S1. Artinya, inovasi diperlukan agar para lulusan Perguruan Tinggi benar-benar dibutuhkan pasar.