Presiden RI Joko Widodo menyampaikan apresiasinya kepada Gubernur Bank Indonesia (BI) dan seluruh jajarannya dalam menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah gejolak global yang terus mengguncang perekonomian nasional. Hal itu dikatakan Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutan pada pembukaan Pertemuan Tahunan Bank Indonesia, di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (27/11. Media Indonesia melaporkan, Presiden mengetahui BI telah melakukan intervensi pasar menaikkan suku bunga guna menstabilkan kurs rupiah terhadap dollar Amerika. Menurut Presiden, dalam dua pekan terakhir BI terus membela rupiah yang menguat signifikan kembali ke level 14.500-an per dolar Amerika Serikat. Presiden menyadari langkah BI menaikkan suku bunga untuk keenam kalinya memang mengejutkan pasar. Namun dia bersyukur pasar meresponnya dengan positif. Presiden Joko Widodo mengakui betapa berat pertempuran dari hari kehari, dari minggu ke minggu dan bulan ke bulan.
Sejumlah langkah yang ditempuh Bank Indonesia guna menstabilkan nilai tukar Rupiah antara lain melakukan dual intervension di pasar uang dan pasar modal (SBN), serta terus menjaga daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi dengan manajemen suku bunga.
Presiden secara khusus memuji langkah Bank Indonesia menaikkan suku bunga Rupiah sebesar 0,25 persen (25 bps) menjadi 6 persen. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan ketegasan BI mengantisipasi dinamika ekonomi global. Langkah ini diluar prediksi para ekonom. Dalam kesempatan tersebut Presiden Joko Widodo juga mengingatkan, bahwa ke depan bukan negara kuat yang akan mengalahkan negara yang lemah, bukan negara yang besar yang akan mengalahkan negara yang kecil. Tetapi negara yang cepat akan mengalahkan negara yang lambat.
Sementara itu Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengakui tahun 2018 merupakan tahun penuh tantangan. Menurut Perry Warjiyo, kondisi tersebut mungkin masih akan berlanjut pada tahun 2019 dan juga tahun berikutnya.
Perry Warjiyo mengingatkan ada tiga hal yang harus dicermati Indonesia. Pertama, pertumbuhan ekonomi dunia yang kemungkinan terus menurun. Kedua, kenaikan suku bunga bank sentral AS yang akan diikuti normalisasi kebijakan moneter di Eropa dan negara maju lainnya. Ketiga, ketidakpastian di pasar keuangan global yang mendorong tingginya premi risiko investasi. Menurut Perry ketiga perkembangan global tersebut berdampak pada kuatnya mata uang dolar AS dan pembalikan modal asing dari negara-negara emerging market seperti Indonesia.