Tuesday, 06 February 2018 15:22

Diplomasi Sawit, Upaya Membangun Citra Minyak Sawit Indonesia

Written by 
Rate this item
(0 votes)

 

Sawit merupakan produk unggulan Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat, sama seperti tahun 2016, tahun 2017 ekspor minyak sawit dan produk turunannya masih merupakan penyumbang devisa terbesar untuk Indonesia. Bustanul Arifin, guru besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung, memprediksi bahwa hingga 10 tahun mendatang, volume dan nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya masih akan terus meningkat. Namun, Bustanul Arifin mengingatkan para pelaku usaha dan pemerintah bahwa isu sustainibility atau keberlangsungan akan terus menjadi kendala ekspor minyak sawit.

Saat Konferensi Tingkat Tinggi Peringatan 40 Tahun Kerja Sama Kemitraan ASEAN-Uni Eropa di Manila, Filipina, pada 14 Nopember 2017 lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan di depan para peserta, bahwa kelapa sawit sangat dekat dengan upaya mengentaskan kemiskinan di Indonesia, mempersempit kesenjangan, serta membangun ekonomi yang inklusif.

Di lain pihak, Parlemen Eropa mendukung larangan penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar ramah lingkungan mulai 2021. Padahal Eropa adalah salah satu tujuan ekspor utama minyak sawit Indonesia. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan ini sebagai "kampanye hitam" di Eropa terhadap produk sawit asal Indonesia. Kebijakan Uni Eropa tersebut dianggap diskriminatif.

Presiden RI Joko Widodo meminta diskriminasi Uni Eropa terhadap kelapa sawit dihentikan. Sejumlah sikap dan kebijakan yang dinilai merugikan kepentingan ekonomi dan merusak citra negara produsen sawit juga harus dihilangkan.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, berpendapat Indonesia masih terpaku pada pasar tradisional yang mencapai sekitar 70% dari total negara tujuan ekspor. Menurut Bhima, sebaiknya tahun 2018 Indonesia mencari pasar alternatif, di antaranya Pakistan, Afrika Selatan, dan Afrika Utara yang dianggap sangat potensial.  

Sejak tahun 2011, Indonesia telah membuat kebijakan yang mewajibkan sistem tata kelola dan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan yang disebut Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Kebijakan ini dimaksud untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar global, dengan lebih memperhatikan isu lingkungan, seperti emisi gas dampak rumah kaca dan sebagainya. Untuk membangun citra minyak sawit Indonesia sebagai minyak nabati yang memilki ISPO di seluruh dunia, terutama di negara-negara tujuan ekspor, diperlukan peran para diplomat Indonesia di luar negeri. Kebijakan ini dikenal dengan diplomasi sawit.

Dalam rangka mendukung upaya pemerintah untuk melakukan diplomasi sawit, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri menggandeng Universitas Pertamina untuk melakukan kajian aplikatif.  Studi Hubungan Internasional Universitas Pertamina memang berfokus pada bidang energi di Indonesia. Pada tanggal 1 Pebruari 2018, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman kedua lembaga tersebut.

BPPK Kementerian Luar Negeri menilai Universitas Pertamina dapat menjadi mitra kerjasama dalam menghasilkan kajian dan rekomendasi terkait kebijakan luar negeri Indonesia, termasuk pada sektor komoditas strategis seperti kelapa sawit.

Kerjasama antara pemerintah, industri dan perguruan tinggi dianggap sangat strategis untuk mendorong diplomasi sawit yang bertujuan menangkal kampanye hitam Uni Eropa terhadap minyak sawit Indonesia. Diharapkan minyak sawit Indonesia tetap dapat menjadi penyumbang terbesar devisa bagi Indonesia.

Sekian Komentar.

Read 1330 times Last modified on Tuesday, 06 February 2018 21:04