Pada Rabu lalu (6/11), pengunjuk rasa di Cile memperluas aksinya ke distrik-distrik perumahan kaya yang sebelumnya tidak tersentuh oleh gelombang demonstrasi. Ratusan siswa menyerbu dan melakukan penjarahan yang berakhir dengan bentrokan dengan polisi anti- huru hara. Polisi anti-huru hara menggunakan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan massa yang berkonsentrasi di sekitar pusat perbelanjaan.
Krisis di Cile memaksa pemerintah membatalkan KTT ekonomi dan iklim internasional serta pertandingan sepak bola internasional utama, final Copa Libertadores.
Misi Hak Asasi Manusia PBB dilaporkan sedang menyelidiki dugaan kebrutalan polisi selama kerusuhan. Komisi Antar-Amerika untuk HAM yang berbasis di Washington meminta otorisasi Pinera mengizinkan untuk mengirim misi ke Cile atas permintaan kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Presiden Cile, Sebastian Pinera mengatakan bahwa pihaknya tidak menyembunyikan apapun menyusul adanya tuduhan terhadap polisi negara yang membunuh, menyiksa, dan menyerang warga sipil selama demonstrasi.
Jaksa penuntut umum negara itu mengatakan, lima dari 20 kematian yang tercatat selama demonstrasi diduga keras dilakukan oleh pasukan keamanan. Bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi telah mengubah bagian dari ibu kota Santiago menjadi medan pertempuran selama beberapa malam terakhir.
Unjuk rasa yang dimulai pada 18 Oktober lalu adalah akibat kenaikan empat persen tarif kereta bawah tanah di Santiago. Warga Cile yang merasa tidak diajak menikmati kemakmuran negara terkaya di Amerika Latin itu merasa frustasi dan melakukan unjuk rasa menuntut Presiden Sebastian Pinera mengundurkan diri.
Ada suatu ungkapan populer dalam bahasa latin, yaitu Vox Populi, Vox Dei yang artinya suara rakyat adalah suara Tuhan. Selama Presiden Pinera tidak ingin mendengarkan suara rakyatnya, gelombang unjuk rasa di negara itu akan semakin besar, dan korban jiwa akan semakin bertambah. Untuk mencegah hal itu, Presiden Pinera tentu perlu mendengarkan suara rakyatnya.