Menjelang akhir 2019, Indonesia dikejutkan dengan masuknya kapal asing coast guard Tiongkok dan kapal nelayannya ke wilayah Natuna. Tiongkok menganggap dengan prinsip Nine Dash Lines (sembilan garis putus/imajiner ) dari titik terluar Tiongkok maka perairan Natuna masuk wilayah Tiongkok.
Bukan Kali ini saja wilayah laut Indonesia yg kaya hasil laut disambangi kapal asing khususnya untuk tujuan illegal fishing. Ketika Susi Pujiastuti masih menjadi Menteri Kelautan Dan Perikanan di kabinet yang lalu, kapal asing yang mencuri ikan di wilayah Indonesia bahkan sampai ditenggelamkan. Tapi Kali ini beda, Tiongkok tidak cuma mengambil hasil laut secara illegal, tapi juga mengklaim wilayah laut Indonesia sebagai miliknya. Bahkan ketika Kementerian Luar Negeri RI sudah mengeluarkan Nota protest atas tindakan ini, Tiongkok masih bertahan dengan dalil Nine Dash Lines nya.
Maka, langkah Diplomasi lah yang kini harus lebih intensif, di samping tentunya patroli di laut Natuna pun harus diperkuat. Menteri Luar Negri Indonesia Retno Marsudi sudah mengingatkan Tiongkok bahwa mereka juga terikat dengan Konvensi Hukum Laut UNCLOS 1982, yang memastikan titik-titik terluar dari Indonesia, lengkap dengan Zona Ekonomi Ekslusif. Klaim Tiongkok atas perairan Natuna yang mengacu pada nine dash-line. tidak berlandaskan hukum internasional yang diakui Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Tiongkok adalah salah satu negara anggota UNCLOS yang punya kewajiban menghormati implementasinya.
Ada yang mengatakan Tiongkok berani melakukan manuver di Natuna karena investasi yang dijanjikan Tiongkok untuk Indonesia cukup tinggi. Tidak jelas benar di mana hubungannya. Namun selayaknya persoalan besaran investasi Tiongkok di Indonesia ini tidakmenjadi pemberat dalam sikap RI menghadapi manuver Tiongkok di wilayah Natuna, Karena betapapun, kedaulatan bangsa Indonesia adalah yang utama.