Akhir pekan lalu, tersiar kabar yang sangat menyedihkan dari Kota Douma, Suriah. Puluhan warga sipil termasuk perempuan dan anak-anak meregang nyawa dihantam serangan senjata kimia. Tudingan atas terjadinya perbuatan keji tersebut ditujukan kepada rezim Bashar al-Assad. Itu tentu saja sebuah pelanggaran berat yang tidak dapat ditolerir. Terlebih kejadian seperti ini sudah berulang untuk kesekian kalinya di beberapa tempat di Suriah. Sayang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak dapat menindaklanjuti rancangan resolusi yang diinisiasi Amerika Serikat dan 6 negara lainnya untuk melakukan penyelidikan independen atas penggunaan senjata kimia lantaran Rusia kembali memvetonya. Rusia yang sejak awal mendukung penguasa di Suriah beralasan resolusi itu hanya akan melegitimasi tindakan bersenjata Amerika Serikat terhadap Suriah.
Penggunaan senjata kimia memiliki sejarah yang panjang. Karena dampaknya yang sangat luas dan mematikan, pasca Perang Dunia I sejumlah negara di dunia melalui Protokol Jenewa tahun 1925 mencanangkan larangan penggunaan senjata kimia. Namun kesepakatan tersebut tampaknya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sejarah mencatat Perang Dunia II, perang Vietnam, dan perang Teluk “Gulf War” I masih diwarnai penggunaan senjata kimia. Kesepakatan antar negara kemudian diperbaharui melalui Konvensi Senjata Kimia (CWC) di tahun 1992 yang ditandatangani 188 negara. Konvensi ini semakin lengkap dengan didirikannya Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) di Den Haag, Belanda pada tahun 1997. Pertanyaannya, mengapa senjata kimia masih saja digunakan oleh sebagian negara?
Kita sama ketahui bahwa peran negara-negara adidaya sangat lah besar dalam pengimplementasian setiap kesepakatan multinasional. Karena pada kenyataannya sebagian besar pelanggaran kesepakatan justru akibat sikap mereka yang tidak konsisten. Pelaksanaan kesepakatan sangat tergantung kepentingan para pihak. Lebih-lebih apabila berhubungan dengan keuntungan ekonomi. Karenanya jika suatu peristiwa merugikan pihaknya maka beramai-ramai pulalah mereka menentangnya. Sebaliknya jika itu menguntungkan pihaknya maka mereka bersatu padu untuk mendukung, membela, dan melindunginya. Sementara negara-negara di luar negara besar, pilihannya hanya ikut dalam salah satu kelompok atau bermain aman dengan melemparkan kritikan sekedarnya. Nah dalam hal senjata kimia tentu kita berharap semua negara bersikap yang sama yakni mengutuk dan menolak keras penggunaannya, memusnahkan senjata yang dimiliki, dan bersama menindak tegas pihak manapun yang melanggar kesepakatan. Kiranya harapan ini juga menjadi momentum agar PBB sebagai lembaga internasional dapat mengayomi segenap anggotanya. Tidak lagi hanya berdiam diri atas tindakan negara-negara tertentu atau mengeluarkan pernyataan-pernyataan normatif belaka tanpa aksi nyata.