(voinews.id)Mantan presiden Filipina Fidel Valdez Ramos wafat pada Minggu ( 31/7) saat berusia 94 tahun.
Kematiannya itu diumumkan oleh Ferdinand Marcos Jr, yang baru-baru ini terpilih sebagai presiden Filipina.
"Kami sekeluarga berduka bersama rakyat Filipina pada hari yang menyedihkan ini. Kami tidak hanya kehilangan seorang pemimpin yang baik, tetapi juga seorang anggota keluarga," kata Marcos Jr melalui pernyataan.
"Warisannya sebagai presiden akan selalu dihargai dan terpatri dalam hati bangsa kita yang bersyukur ini," katanya, menambahkan.
Fidel Ramos adalah seorang pejuang perang di Korea dan Vietnam serta merupakan penyintas di arena politik.
Ia menjadi pejabat tingkat tinggi bidang keamanan selama masa kediktatoran Ferdinand Marcos Sr dan kemudian meraup suara kemenangan untuk menggenggam jabatan tertinggi di negara itu.
Ramos menjadi pahlawan bagi banyak pihak karena membelot dari pemerintahan Marcos. Di bawah pemerintahan Marcos, ia menjabat kepala kepolisian nasional.
Pembelotannya itu mendorong kejatuhan pemerintahan Marcos --saat pemberontakan massal berlangsung pada 1986 terhadap kepemimpinan Marcos.
Namun bagi sebagian pihak lainnya, Ramos tidak bisa dimaafkan karena menerapkan aturan darurat militer di bawah rezim Marcos.
Pada pemilihan presiden 1992, Ramos menang tipis dari pemimpin gerakan Kekuatan Rakyat, Corazon Aquino --yang menyingkirkan Marcos.
Selama enam tahun Ramos menjabat sebagai presiden, pemerintah Filipina membuka pintu ekonomi bagi investasi dari luar negeri dengan menerapkan kebijakan deregulasi dan liberalisasi.
Ramos menghancurkan praktik monopoli pada sektor transportasi dan komunikasi.
Melalui kewenangan khusus yang diberikan Kongres, ia memulihkan sektor kelistrikan yang bermasalah sehingga pemadaman listrik selama 12 jam, yang melemahkan negara itu, tidak lagi terjadi.
Selama Ramos menjabat sebagai presiden, ekonomi Filipina melonjak dan tingkat kemiskinan turun menjadi 31 persen --dari 39 persen-- berkat Agenda Reformasi Sosial yang diusungnya.
Ramos pada 1996 menandatangani perjanjian perdamaian dengan kelompok separatis Islamis Front Pembebasan Nasional Moro.
Ia juga berhasil mengerucutkan jumlah gerilyawan Maoist menjadi lebih dari 5.400 orang, dari angka tertinggi 25.000 orang pada 1986.
Sumber: Reuters