Wednesday, 24 August 2022 09:26

Petani Eropa berjuang hadapi musim panas terkering

Written by 
Rate this item
(0 votes)

 

(voinews.id)Para petani Eropa semakin terpuruk saat kekeringan terpanjang dan terpanas dalam beberapa generasi yang meluas ke sebagian besar benua itu.

Sebelumnya, Institut Ilmu Atmosfer dan Iklim Dewan Penelitian Nasional Italia mengatakan tahun ini menjadi tahun terpanas dan terkering di Italia sejak pencatatan dimulai tahun 1800. Hal tersebut diperkirakan dapat mengurangi total output pertanian negara itu setidaknya sepertiga.

Situasi serupa ditemukan di sejumlah daerah lain di Eropa. Pertumbuhan tanaman dilaporkan terhambat di Hungaria, sementara kepala kelompok petani terkemuka di Jerman mengatakan sektor pertanian tidak dapat mengatasi masalah-masalah cuaca belakangan ini. Sementara itu, di Slovenia, seorang pejabat mengatakan kepada Xinhua bahwa lahan pertanian tanpa irigasi di negara tersebut tidak akan menghasilkan output tahun ini.

Dalam sesi wawancara baru-baru ini, seorang pembuat wine di Spanyol mengatakan cuaca tahun ini dapat mengubah rasa wine Spanyol. "Segala sesuatu memiliki batasan," ujar pembuat wine dari Bodega Santalba, Roberto Ijalba, di La Rioja, Spanyol. Menurut Ijalba, kebun-kebun anggur di Spanyol terbiasa dengan musim panas terik dan kering.

Namun, tahun ini udara panas mencapai level baru, sehingga dia memperkirakan anggur yang dipetik pada 2022 akan lebih manis dan beralkohol daripada biasanya. Kondisi serupa dirasakan Faye Lottero di Italia. Lottero menanam anggur wine dan zaitun di Tuscany.

Perkebunannya memiliki empat sumur yang memompa air dari kedalaman 100 meter di bawah permukaan tanah. Namun, Lottero masih memperkirakan perkebunannya dapat menghasilkan anggur dengan jumlah 20 persen lebih sedikit serta zaitun dengan ukuran lebih kecil dan rasa yang lebih pahit.

Menteri Pertanian Hongaria Istvan Nagy mengatakan kerusakan di sektor pertanian sepanjang tahun ini mencapai dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan total kerusakan selama 10 tahun sebelumnya. Beberapa petani di negara Eropa tengah itu dilaporkan harus beradaptasi dengan situasi tersebut dan beralih ke tanaman tropis seperti pisang dan kiwi.

Presiden Asosiasi Petani Jerman Joachim Rukwied mengatakan sektor pertanian di negaranya menghadapi "pukulan ganda" dari cuaca ekstrem dan harga bahan bakar cukup tinggi akibat krisis di Ukraina, sehingga hal itu berdampak pada transportasi dan pupuk. "Kami mengalami kesulitan di banyak sektor.

Harga pupuk empat kali lebih tinggi dibanding tahun lalu. Harga energi dua kali lebih tinggi. Biaya pakan meningkat, (dan) tentu saja, masalah cuaca membebani pertanian kami," kata Rukwied.

Menurut Presiden Asosiasi Pertanian Italia Confcooperative, Carlo Piccinini, masalah yang dihadapi sektor pertanian tahun ini akan menjadi lebih umum di masa depan. Namun, dia mengatakan perencanaan lebih baik dapat membantu meringankan dampaknya.

"Dengan perubahan iklim, kita tampaknya akan lebih sering melihat situasi seperti ini. Jelas bahwa kita harus menyempurnakan pengelolaan air. Kita harus mempelajari cara untuk menggunakan air dengan lebih efektif agar kita dapat menjadi lebih tangguh dalam situasi ini," kata Piccini.

Seorang petani buah dan zaitun di Slovenia, Vasja Juretic, mengatakan bahkan rumput yang dipotong untuk memberi makan hewan telah dikurangi sebesar 70 persen di beberapa kasus. "Di perkebunan permanen tanpa irigasi, tanamannya rusak 100 persen.

Ada ketidakpastian besar tentang apa yang akan terjadi di tahun berikutnya, bahkan tanaman merambat pun tidak luput dari kekeringan ini," ujar Juretic.

 

antara

Read 157 times