(voinews.id)- Sejumlah lembaga bantuan mengatakan lebih dari 24 juta orang dari total 35 juta penduduk Afghanistan sedang menghadapi kerawanan pangan akut. "Harga-harga meroket, tingkat kemiskinan tinggi, dan saya adalah satu-satunya pencari nafkah di keluarga saya, memiliki taksi dan berkeliling di jalanan dari fajar hingga senja demi menghidupi keluarga saya," ungkap seorang warga Kabul bernama Wahidullah.
Memiliki keluarga yang beranggotakan 22 orang dan tinggal di Desa Shiwaki di pinggiran Kabul, ibu kota Afghanistan, Wahidullah mengatakan bahwa kemiskinan telah melemahkan kemampuannya untuk membeli kayu bakar atau batu bara guna menjaga rumahnya tetap hangat selama musim dingin.
"Tahun lalu, harga 1 ton batu bara adalah 6.000 afghani (1 afghani = Rp178,63) hingga 6.500 afghani, tetapi tahun ini harganya mencapai 16.000 afghani, harga yang tidak terjangkau bagi orang biasa," kata Wahidullah kepada Xinhua di sebuah toko batu bara.
Dilanda perang dan miskin secara ekonomi, Afghanistan menderita akibat kemiskinan dan tingkat pengangguran yang tinggi sejak evakuasi pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) pada Agustus 2021. Sanksi-sanksi AS terhadap Afghanistan dan larangan penebangan pohon secara ilegal oleh pemerintahan sementara yang dipimpin Taliban telah menyebabkan kenaikan harga kayu dan bahan bakar, kata Ashna kepada Xinhua di toko penjualan kayu miliknya.
Tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan ekstrem telah menyebabkan turunnya pembelian daya oleh warga Afghanistan, ujar Ashna.
Menyusul penarikan pasukan pimpinan AS dari negara Asia itu, aset Afghanistan senilai lebih dari 9 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp15.630) dibekukan oleh AS sebagai bagian dari sanksinya terhadap penguasa baru negara yang dilanda perang itu.
Sejumlah lembaga bantuan mengatakan lebih dari 24 juta orang dari total 35 juta penduduk Afghanistan sedang menghadapi kerawanan pangan akut, menyerukan pemberian bantuan pangan menjelang musim dingin yang menusuk tulang.
Tinggal di kamp pengungsi sementara Taimani di Kabul, Mohammad Nasir (50), yang terlihat lebih tua dari usianya, meyakini bahwa tinggal di Afghanistan sebenarnya tidak sama dengan memiliki "kehidupan," melainkan berjuang untuk tetap "hidup."
"Saya bersama dua anak saya bekerja dari fajar hingga senja di pasar menggunakan gerobak dorong dan juga menjual tas belanja, tetapi penghasilan kami hanya 110-120 afghani per hari, hanya cukup untuk membeli tepung dan tidak lebih," ujar Nasir kepada Xinhua.
antara