Pada 10 Februari 2024, junta militer Myanmar mengeluarkan perintah yang memberlakukan Undang-Undang Dinas Militer Rakyat Tahun 2010 yang menetapkan warga negara laki-laki berusia 18 hingga 35 tahun dan perempuan berusia 18 hingga 27 tahun memenuhi syarat menjalani wajib militer. Mereka yang menghindari wajib militer atau membantu orang lain menghindari dinas militer dapat dikenakan hukuman penjara hingga lima tahun.
Juru bicara junta militer Myanmar, Zaw Min Tun seperti dikutip dari AFP (10/02/2024), mengatakan, tugas untuk menjaga dan membela negara tidak hanya untuk para tentara, tetapi juga untuk semua warga negara.
Pada Rabu (14/02/2024), media setempat mengutip juru bicara militer yang mengatakan program itu akan dimulai pada April, dengan memproses 5.000 orang setiap bulannya. Namun belum ada rencana mengenai perekrutan perempuan.
Para analis berpendapat, perintah wajib militer tersebut terjadi karena junta kesulitan merekrut anggota baru untuk menghadapi tantangan terbesarnya di medan perang.
Dengan kebijakan wajib militer ini, pertempur, antara tentara junta dengan kelompok oposisi seolah makin tidak berujung. Seperti dikutip dari Kompas.id (01/02/2024), sejak kudeta 1 Februari 2021 terjadi, lebih dari 4.400 orang tewas dan setidaknya 25.000 orang ditahan. Pertempuran antara kekuatan oposisi dan junta militer juga memicu pengungsian massal. Angka terbaru PBB, seperti dikutip dari news.un.org (22/02/2024) menunjukkan bahwa hampir 2,7 juta orang Myanmar menjadi pengungsi internal di seluruh negeri.
Kebijakan wajib militer ini, seperti diungkapkan Tom Andrews, Pelapor Khusus untuk Situasi Hak Asasi Manusia di Myanmar, merupakan ancaman terhadap keselamatan warga sipil. Bila pertempuran antara junta militer dan kelompok oposisi terus berlanjut maka jumlah korban tewas dan pengungsi massal akan terus bertambah.
Negara-negara lain, seperti diserukan oleh Tom Andrews, perlu melakukan langkah-langkah konkret yang terkoordinasi untuk mencegah terus bertambahnya korban pertempuran dari warga sipil Myanmar. Diantaranya dengan mengurangi akses junta terhadap senjata dan pendanaan. Seperti dikutip dari nhk.or.jp (24/07/2023), Myanmar mengimpor persenjataan dan bahan baku untuk memproduksi senjata dari beberapa negara seperti Rusia, Cina, Singapura, India, dan Thailand, senilai paling tidak satu miliar dolar AS. Negara-negara tersebut bisa berkontribusi terhadap perdamaian di Myanmar dengan cara mengurangi akses junta terhadap senjata.
Selain usulan Tom Andrews, banyak cara sudah ditempuh untuk mengupayakan perdamaian di Myanmar. Seperti misalnya melalui Five-Point Consensus (5PC) yang diadopsi ASEAN pada April 2021. Atau usaha-usaha penekanan oleh berbagai negara barat. Namun semuanya belum menampakkan hasil yang memuaskan.
Baik Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN, maupun negara-negera lain di dunia sangat mengharapkan perdamaian di Myanmar dapat segera terwujud.