Semua negara termasuk Indonesia mulai menghitung dampaknya terhadap politik maupun ekonomi, jika terjadi eskalasi konflik Timur Tengah. Presiden Joko Widodo beserta jajarannya pun menggelar rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa (16/4) kemarin, khusus membahas mitigasi dampak ketegangan Timur Tengah.
Usai rapat, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan, Indonesia melalui upaya diplomasi terus mendorong deeskalasi ketegangan dan pengendalian diri di antara negara-negara yang terlibat.
Sementara itu, upaya mitigasi dalam negeri juga dilakukan pemerintah terhadap perkembangan situasi ekonomi dunia. Usai rapat terbatas tersebut, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, pemerintah melakukan berbagai langkah mitigasi karena melihat perkembangan. Antara lain, dolar Amerika Serikat (AS) semakin menguat, harga minyak meningkat, dan harga saham melemah.
Mitigasi tetap diperlukan walaupun angka pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini cukup stabil, sekitar 5 persen, dan inflasi hanya 2,5 persen. Dibanding sesama negara berkembang, situasi tersebut memang masih lebih baik. Tetapi yang membuat khawatir adalah nilai rupiah yang terus turun terhadap dolar AS. Hingga Selasa kemarin, nilai tukar rupiah melemah sebesar 2,27% menjadi Rp16.200 per dolar AS, level terendah sejak awal April 2020. Meski tren menguatnya dolar AS terhadap berbagai mata uang asing terjadi di seluruh dunia, namun nilai tukar rupiah yang terus turun akan mempengaruhi kepercayaan investor.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menekankan, di tengah eskalasi konflik global yang terjadi saat ini, pihaknya akan selalu berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Pernyataan tersebut tentu memberi harapan. Kini yang mungkin perlu dipikirkan pemerintah adalah dengan instrumen apa, dan berapa lama nilai tukar rupiah dapat dijaga tetap stabil. Semoga upaya menstabilkan rupiah tidak akan menggerus cadangan devisa negara yang saat ini berjumlah 136 miliar dolar AS.