Irak telah melaksanakan pemilihan umum parlemen pertama bulan Mei tahun ini. Hasil dari pemilihan itu ternyata tidak segera dapat diumumkan, karena terjadinya perselisihan di antara para peserta pemilihan umum. Ini menjadi pemilihan pertama di Irak, sejak ISIS yang menguasai Irak dapat dikalahkan.
Hasil pemilihan ini tidak ada yang menjadikan satu partai dengan mayoritas mutlak, dimana dari 329 kursi parlemen, kelompok ulama Syiah, Moqtada Al Sadr, meraih 54 kursi parlemen, kelompok syiah yang didukung Iran, meraih 47 kursi dan kelompok aliansi mantan Perdana Menteri Haider al Abadi dapat meraih 42 kursi, sisanya diisi oleh kelompok lain termasuk partai-partai Kurdi.
Sesuai dengan konvensi yang dibuat sejak Amerika Serikat ikut campur dalam persoalan Irak, maka jabatan Presiden akan dipegang oleh kaum Kurdi, Perdana Menteri oleh kaum syiah dan Ketua Parlemen oleh kaum sunni. Namun tiadanya kesepakatan mengenai siapa wakil Kurdi menjadi presiden membuat dua partai kurdi yaitu Partai Demokrat Kurdistan dan
Persatuan Patriotik Kurdistan di parlemen mengajukan calon masing-masing.
Pemungutan suara dilakukan untuk menentukan siapa Presiden Irak. Hasilnya Barham Salih, seorang politisi kawakan yang pernah menjadi wakil Perdana Menteri, mendapat 219 suara melawan 22 suara yang diperoleh Fuad Hussein. Salih punya 15 hari untuk menunjuk seorang Perdana Menteri. Alih-alih menghabiskan 2 pekan, Salih bergerak cepat dengan menunjuk seorang politisi senior Syiah, Adel Abdul Mahdi sebagai Perdana Menteri yang punya waktu 30 hari untuk membentuk pemerintahan. Meskipun tidak ada yang menjadi mayoritas di parlemen, dan mungkin ada tantangan dalam pembentukan pemerintahan, ini adalah kabar gembira bagi geliat demokrasi di Irak. Kita tidak berharap ada lagi perpecahan di negeri Seribu Satu Malam itu karena tugas berat menanti siapapun yang menjadi pemimpin Irak. Membangun kembali Irak yang hancur karena perang memerlukan kerja keras dan keterlibatan semua pihak.