Keberadaan pemilih penyandang disabilitas mental kembali ramai dibincangkan akhir-akhir ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mendata penyandang disabilitas mental ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019. Namun penyandang disabilitas mental disyaratkan untuk membawa surat rekomendasi dari dokter untuk dapat mencoblos. Surat itu berisi keterangan bahwa penyandang disabilitas mental dalam keadaan sehat dan dapat menggunakan hak pilihnya.
Menurut KPU, merujuk pada aturan perundang-undangan, penyandang disabilitas mental pada dasarnya tidak dapat melakukan tindakan hukum, sehingga tindakannya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Pernyataan Komisi Pemilihan Umum mendapat penolakan dari berbagai pihak. Diantaranya dari Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia dan Jaringan Rehabilitasi Psikososial Indonesia. Menurut mereka, pemilih penyandang disabilitas mental tidak memerlukan surat rekomendasi dari dokter untuk dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Alasannya, persyaratan itu tidak dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk UU pemilu. Penyandang disabilitas mental dipandang bersifat kronik dan episodik atau kambuhan. Jika periode kambuhan terjadi pada hari pemungutan suara, penyandang disabilitas mental tidak dimungkinkan menggunakan hak pilihnya. Namun, di luar periode episodik, pemikiran, sikap, ingatan, dan perilaku penderita tetap memiliki kapasitas untuk memilih dalam Pemilu.
Dalam menangani perbedaan pandangan ini tentu diperlukan pemikiran yang jernih. Semua pihak harus memahami bahwa derajat atau tingkat disabilitas mental seseorang itu berbeda-beda. Bagi penyandang disabilitas mental ringan yang berdasarkan hasil analisis atau pemeriksaan dokter dinyatakan tidak berat tentu tidak ada masalah untuk menggunakan hak pilihnya. Namun bagi mereka yang mengalami gangguan mental berat atau permanen sudah tentu tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya, karena apa yang harus dilakukan dengan kertas suara yang diberikan padanya pun tidak akan dmengerti. Sementara jika didampingi oleh orang lain di dalam mencoblos, maka prinsip pemilihan yang langsung, bebas dan rahasia juga tidak terlaksana.
Artinya, hak semua warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk memberikan suara harus tetap dijaga. Sebaliknya, jika syarat-syaratnya termasuk kesehatan jiwa tidak dipenuhi, maka haknya seharusnya gugur.