Menjadi guru bukan sekedar memiliki profesi. Menjadi guru adalah panggilan hati dalam menjalankan amanah. Hal ini karena guru merupakan suri tauladan masyarakat, sesuai dengan akronim Jawa untuk kata guru, yaitu digugu(diikuti) dan ditiru.
Guru selalu digugu, dalam artian, perkataannya harus bisa dijadikan panutan. Oleh karena itu, seorang guru harus memiliki kewibawaan dan juga wawasan yang cukup tinggi. Karena apapun yang diucapkannya akan dianggap benar oleh siswa maupun masyarakat di sekitarnya. Seorang guru juga harus bisa ditiru ucapannya, semangatnya serta budi pekertinya.
Menjadi guru, terutama di era seperti sekarang ini, memang memiliki tantangan tersendiri. Tidak saja terkait pesatnya teknologi informasi yang berkembang saat ini, namun juga siswa yang dihadapinya, yaitu siswa dari Generasi Y atau milenial, yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997, dan generasi Z, yang lahir sesudahnya atau yang sering disebut sebagai generasi internet.
Sekolah saat ini menjadi lingkungan pembelajaran yang mempertemukan dua generasi yang berbeda. Mereka adalah guru yang berasal dari Generasi X, yang lahir antara tahun 1965-1980, dan siswa dari Generasi Milenial dan Generasi X, yang lahir di era internet.
Pertemuan antara generasi yang berbeda ini jika tidak disikapi dengan cermat, tentu akan menciptakan berbagai benturan. Guru banyak yang memiliki kemampuan minim di bidang teknologi. Cara berpikirnya pun kerap dianggapkalah cepat dalam merespon laju perkembangan arus informasi dan teknologi di banding siswa yang akrab dengan perkembangan teknologi. Guru seperti ini mungkin akan menjadi sosok pendidik yang menjemukan, bahkan akan menghambat tumbuhnya potensi siswa.
Siswa di era milenial kerap dituding memiliki sikap manja, memiliki motivasi belajar yang rendah, dan terlalu banyak menghabiskan waktu di depan televisi, komputer atau telepon pintar. Mereka dicap sebagai generasi galau, labil dan tidak konsisten karena mereka tidak betah diam di satu tempat dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengatasi hal ini, sekolah atau guru harus kreatif dalam menciptakan suasana belajar yang nyaman dan tidak kaku. Siswa generasi milenial dan generasi X berbeda dengan generasi sebelumnya yang harus duduk mulai pagi sampai siang di dalam kelas. Sebagai generasi yang akrab dengan dunia digital, mereka memiliki informasi dalam genggaman melalui gawai atau telepon pintar. Artinya, kesempatan belajar tidak harus di dalam kelas. Mereka bisa mengakses informasi di mana saja dan kapan saja. Yang dibutuhkan dari guru adalah pengawasan yang proporsional karena mereka tetap manusia yang membutuhkan feedback atau umpan balik, perhatian dan penghargaan dari guru dan orangtua.
Guru juga tidak lagi selalu berperan sebagai ‘atasan’ yang memberi perintah yang wajib dituruti. Siswa milenial memerlukan figur guru yang peduli, gemar berdiskusi dan memberikan bimbingan dalam komunikasi yang sejajar dan tidak memberi nasehat yang menggurui.
Di atas semua itu, kompetensi guru harus ditingkatkan terutama dalam penguasaan teknologi informasi sehingga pengetahuan guru semakin meningkat yang tentu saja akan berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan.