Demontrasi besar di Paris yang terus berlangsung dan memicu kerusuhan menjadi batu ujian bagi kredibilitas dan kelanjutan pemerintahan Presiden Perancis Emmanuel Macron. Demo yang berlangsung setiap Sabtu, dan berakhir dengan kerusuhan merebak menjadi gerakan untuk menurunkan Presiden Macron. Aksi yang dikenal dengan sebutan aksi massa rompi kuning atau Yellow Vest Sabtu lalu menyebabkan 92 orang termasuk petugas polisi terluka dalam kerusuhan.
Aksi unjuk rasa yang semula dimulai oleh warga pinggiran kota Paris yang memprotes keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan pajak berubah menjadi kekacauan. Warga dari kalangan kelas menengah yang gelisah dengan kebijakan Macron bergabung dan menjadikan gelombang demo dan menyuarakan agar Macron mundur. Para demonstran meneriakkan berbagai slogan untuk menuntut Presiden Emmanuel Macron mengundurkan diri.
Tekanan pengunjuk rasa menyebabkan Perdana Menteri Edouard Philippe bersedia bertemu dengan dua perwakilan pengunjuk rasa, namun gagal menghentikan demo selanjutnya yang bahkan semakin banyak diikuti warga Paris dan sekitarnya Hasil jajak pendapat menyatakan bahwa unjuk rasa kelompok rompi kuning mendapat dukungan 72 persen dari warga Prancis. Walaupun demikian hampir 90 persen peserta jajak pendapat menolak tindak kekerasan. Adapun Presiden Emanuel Macron menuntut pertanggung jawaban hukum pendemo akibat kerusuhan yang terjadi dan menyebabkan kerusakan.
Sesungguhnya Presiden Macron telah mengalah dengan mencabut kebijakannya dengan menunda kenaikan pajak BBM yang berakibat pada naiknya harga bahan bakar di seluruh Perancis. Walaupun demikian unjuk rasa kembali berlangsung dengan tuntutan mundurnya Macron yang baru memerintah selama 18 bulan. Bagi Presiden Perancis yang merupakan Kepala negara termuda dalam sejarah Perancis, gelombang unjuk rasa ini merupakan ujian bagi kebijakan dan kelangsungan pemerintahannya.
Apakah aksi demo terbesar dan terburuk di Perancis ini akan menjadi pemicu gerakan politik yang akan menentukan akhir pemerintahan Macron, masih harus diikuti pekembangannya. Kegagalan Macron mengatasi krisis politik ini akan menjadi catatan apakah dia yang sudah mencatatkan sejarah terpilih sebagai Presiden termuda, akan juga menjadi Presiden yang tersingkat jabatannya akibat kebijakannya yang menyebabkan unjuk rasa besar besaran.