Empat bulan jelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 hiruk-pikuk pesta demokrasi yang berlangsung sekali dalam 5 tahun itu semakin terasa. Ada beberapa permasalahan yang muncul, mulai dari masalah hak penyandang disabilitas mental dalam Pemilu, penemuan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) rusak dan tercecer, hingga kualitas kotak suara.
Penemuan KTP elektronik tidak valid (rusak) dan tercecer membuat beberapa pihak terutama mereka yang memiliki kepentingan dalam Pemilu 2019 mendatang mengkhawatirkan terjadinya kecurangan. Untuk itu Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo telah mengistruksikan jajarannya untuk menugaskan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melakukan pemusnahan.
Selain masalah KTP, sekarang muncul kepermukan masalah kualitas kotak suara. Sejumlah politisi di DPR Senayan kembali ribut-ribut soal potensi kecurangan saat pemungutan suara digelar.
Kali ini pemicunya adalah keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan menggunakan kotak suara karton kedap airatau cardboard yang juga populer dengan sebutan kotak suara kardus. Ada sejumlah pihak yang mempersoalkan penggunaan kotak suara berbahan material lunak dibanding aluminium tersebut, karena rawan rusak atau dirusak dengan tujuan kecurangan.
Dalam Pasal 341 UU Pemilu yang merupakan kesepakatan partai politik di Dewan Perwakilan rRkyat (DPR) disebutkan bahwa kotak suara harus transparan dan surat suara di dalamnya bisa dilihat. Sebenarnya atas dasar inilah KPU melakukan pengadaan kembali untuk mengganti kotak suara lama yang terbuat dari aluminium.
Kotak suara berbahan kardus sesungguhnya bukan barang baru. Jenis ini sudah dipergunakan di sejumlah TPS pada Pemilu 2014 dan di tiga pilkada serentak yang sudah digelar, yakni 2015, 2017, dan 2018.
Penggunaan kotak suara kardus pada pemilu yang akan digelar pada 17 April 2019 berangkat dari semangat efisiensi anggaran.Hal ini dilakukan lantaran terjadi penambahan jumlah TPS hampir dua kali lipat pada pemilu mendatang.
Potensi kecurangan pada pemilu, baik saat pemungutan suara, saat distribusi surat suara maupun saat rekapitulasi perolehan suara, memang patut diwaspadai bersama. Namun tidak berarti setiap kebijakan penyelenggara pemilu harus dicurigai. Kecurangan bisa terjadi bukan karena kotak suara terbuat dari bahan apa, melainkan karena lemahnya pengawasan.
Untuk meredam hiruk-pikuk ini, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus benar-benar memastikan proses pencoblosan di TPS, distribusi suarat suara hingga rekapitulasi aman dari kecurangan. Pemilu serentak yang menjadi ujian baru bagi kematangan bangsaIndonesia dalam berdemokrasi ini harus bisa dijamin berjalan jujur dan adil.