VOinews.id- Presiden Hongaria Katalin Novak mengundurkan diri dari jabatannya pada Sabtu (10/2), menyusul munculnya skandal pengampunan terhadap pelaku pelecehan terhadap anak. "Saya berbicara kepada Anda sebagai presiden untuk terakhir kalinya, saya mengundurkan diri dari jabatan presiden Republik (Hongaria)," kata Novak di saluran televisi nasional M1.
"Saya meminta maaf kepada mereka yang telah saya sakiti dan kepada semua korban yang mungkin merasa saya tidak mendukung mereka. Saya telah, sedang, dan akan mendukung perlindungan anak-anak dan keluarga," ujarnya. Novak memberikan pengampunan kepada mantan Wakil Direktur sebuah panti asuhan Endre K pada April 2023. Menurut situs berita lokal 444.hu, pengampunan tersebut memicu gelombang protes pada Jumat (9/2) di Budapest yang menuntut pengunduran diri Novak.
Tak lama setelah pengunduran diri Novak, mantan Menteri kehakiman Hongaria Judit Varga juga mengundurkan diri dari jabatan publik. Varga menjabat sebagai menteri kehakiman ketika Novak menandatangani pengampunan kontroversial tersebut. "Katalin Novak dan Judit Varga telah mengambil keputusan yang bertanggung jawab, dan kami menghormatinya," kata Ketua kelompok parlemen dari partai berkuasa Fidesz, Mate Kocsis terkait pengunduran diri mereka di akun Facebook-nya. Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban via Facebook pada Kamis (8/2) mengatakan bahwa dirinya telah mengajukan amendemen konstitusi atas nama pemerintah untuk mencegah pengampunan bagi pelaku kejahatan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur.
"Tidak akan ada pengampunan bagi pelaku pedofilia," kata Orban. Dipilih oleh parlemen Hongaria pada 2022, Novak menjadi presiden wanita pertama di negara itu sekaligus presiden termuda yang memegang jabatan yang sebagian besar bersifat seremonial itu.
Antara
VOInews.id- Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian mengatakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berupaya memperpanjang perang di Gaza namun wilayah itu bergerak menuju stabilitas. Dalam konferensi bersama dengan Menlu Lebanon Abdallah Bou Habib di Beirut pada Sabtu, Abdollahian mengatakan bahwa perang "bukanlah solusi" namun berakhirnya perang "berarti berakhirnya Netanyahu."
Abdollahian, yang tiba di Beirut pada Jumat, mengadakan pembicaraan panjang bersama para pejabat Lebanon serta para pemimpin kelompok Palestina yang berbasis di Lebanon pada Sabtu. Kunjungan tersebut terjadi setelah Amerika Serikat menuduh kelompok yang berpihak pada Iran dan berada di Lebanon dan Irak melakukan serangan terhadap pasukan AS dan sekutunya di wilayah itu, termasuk di Laut Merah. Saat berbicara kepada wartawan bersama Habib, menlu Iran itu mengatakan kedua negara setuju bahwa perang bukanlah solusi dan mereka tidak ingin memperluasnya. Namun, dia segera menambahkan bahwa serangan besar-besaran Israel terhadap Lebanon akan menjadi “akhir dari Netanyahu” dan kabinetnya yang “ekstremis”. Abdollahian mengatakan PM Israel "mencoba menyandera Gedung Putih" untuk mempertahankan kekuasaan, mengulangi apa yang dia katakan berkali-kali dalam beberapa pekan terakhir bahwa Israel berupaya menyeret AS ke dalam konflik regional yang lebih luas.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa perlawanan Palestina, terutama Hamas, "bertindak secara bijak dan akurat" baik dalam medan perang maupun dalam arena politik, melihat bahwa Israel gagal mencapai tujuan yang diungkapkannya. Korban jiwa di Jalur Gaza yang terkepung sejak 7 Oktober telah nyaris mencapai 28 ribu, bahkan ketika Perdana Menteri Israel telah memberikan perintah untuk melakukan invasi darat ke Rafah dalam beberapa minggu mendatang.
Menlu Iran itu mengatakan bahwa AS bergerak dalam dua arah secara bersamaan menyediakan senjata untuk Israel dan membicarakan solusi politik, seraya menambahkan bahwa jika Washington mencari perdamaian, negara itu harus menghentikan perang. “Gedung Putihlah yang harus memilih apakah akan tetap menjadi sandera Israel atau fokus pada solusi dan mengakhiri perang,” katanya, seraya menambahkan bahwa Israel tidak akan dapat melanjutkan perang “bahkan untuk satu jam pun” tanpa dukungan AS. Dia juga menyinggung serangkaian serangan terhadap kapal-kapal yang terkait dengan AS dan Inggris di Laut Merah dalam beberapa pekan terakhir oleh kelompok Houthi yang bersekutu dengan Iran, dan mengatakan bahwa kelompok Yaman tersebut berupaya memberikan tekanan untuk menghentikan perang di Gaza. Pada kunjungan berikutnya ke dua negara, menteri luar negeri Iran itu dijadwalkan mengunjungi Suriah.
Sumber: Anadolu
VOInews.id- Kementerian Luar Negeri Arab Saudi menyerukan pertemuan darurat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Sabtu (10/2) ketika Israel bersiap untuk melancarkan operasi darat di Rafah, kota paling selatan di Jalur Gaza. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Jumat (9/2) memerintahkan angkatan bersenjata Israel untuk menyusun rencana untuk mengevakuasi warga sipil dari kota yang penuh sesak itu menjelang serangan yang bertujuan untuk membasmi empat batalyon Hamas yang tersisa. "Kerajaan Arab Saudi memperingatkan tentang bahaya akibat serangan dan serangan terhadap Rafah di Jalur Gaza, tempat perlindungan terakhir bagi ratusan ribu warga sipil yang mengungsi akibat agresi biadab Israel," kata Kemenlu Arab Saudi seperti dilansir Kantor Berita Sputnik.
Pernyataan tersebut menekankan "perlunya DK PBB mengadakan pertemuan luar biasa untuk mencegah Israel melancarkan bencana kemanusiaan." Israel telah melancarkan serangan udara di Rafah dalam beberapa hari terakhir. Kota di perbatasan dengan Mesir itu telah dipenuhi oleh warga Palestina yang mencari keselamatan dari serangan Israel yang semakin meluas. Padahal, militer Israel sebelumnya telah menyuruh warga Palestina untuk melarikan diri ke daerah selatan selama empat bulan terakhir pertikaian tersebut.
Antara
VOinews.id- Balazs Orban, direktur politik Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban, mengatakan pada Sabtu (10/2) bahwa Hongaria sedang berusaha membujuk negara-negara anggota Uni Eropa untuk kembali melanjutkan dialog diplomatik dengan Rusia. "Pendapat kami tetap sama selama bertahun-tahun, yaitu tidak ada solusi militer di medan perang," kata Orban dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Austria, Exxpress.
"Kita harus kembali ke jalur diplomasi. Kami berusaha meyakinkan sekutu-sekutu kami tentang hal ini di Brussels dan di tempat lain," ujarnya. Pada saat yang sama, dia mencatat bahwa, meskipun Rusia memulai operasi militer khusus di Ukraina, Barat terus memicu konflik. "Kami tidak menganggap ini sebagai ide yang baik, karena jalan ini akan menyebabkan runtuhnya militer Ukraina atau peningkatan ketegangan yang akan mengarah pada perang dunia ketiga," kata Orban. Ada perbedaan posisi antara Hongaria dan Rusia karena alasan yang jelas, katanya, "Tetapi menurut kami juga, Barat memikul tanggung jawab." Menurut dia, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Rusia pada akhirnya akan mencapai kesepakatan jangka panjang untuk menyelesaikan ketegangan tersebut.
Sumber: Sputnik-OANA