Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jendral Pengendalian perubahan iklim menyelenggarakan workshop hydroflorocarbon atau HFC dalam rangka implementasi protokol Montreal DI Jakarta Kamis. Protokol Montreal adalah salah satu perjanjian internasional di bidang Lingkungan Hidup yang bertujuan untuk melindungi lapisan ozon. Indonesia telah meratifikasi protokol Montreal sejak tahun 1992. Kegiatan ini dilakukan untuk menyosialisasikan kepada perusahaan yang menggunakan Hydro chloro Fluoro Carbon atau HCFC yang di gunakan dalam alat pendingin seperti AC, kulkas dan alat pendingin lainnya untuk mengkonversinya dengan Hydro Fluoro Carbon atau HFC yang lebih ramah ozon. Usai acara Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, Ruandha Agung Sugardiman menjelaskan, Indonesia masih memiliki waktu tiga tahun untuk menginventarisasi kebutuhan kita sehingga dapat melakukan simulasi dan modeling.
“Kami dari KLHK telah membuka workshop on HFC enabling activities intinya bagaimana kita mempersiapkan diri dalam rangka meratifikasi protokol Montreal yang lebih dikenal dengan Amandemen Kigali ini. Karena sudah beberapa kali dirubah karena ada memasukkan unsur unsur baru yang akan dikurangi dari bahan perusak ozon ini. Oleh karena itu masih ada waktu tiga tahun sampai 2023 ini. Jadi kita melakukan inventarisasi kebutuhan kita 2020, 2021,2023 sehingga kita bisa melakukan simulasi, melakukan modeling industri mana saja yang perlunya tinggi itu. “
Ruandha menambahkan, kesuksesan protokol Montreal dalam menurunkan konsumsi bahan perusak ozon (BPO) telah sangat siginifikan di capai. Indonesia juga berkontribusi dengan menurunkan konsumsi BPO khususnya jenis HCFC dari tahun 2013 sampai 2018 sebesar 124,36 ton Ozone Depleting Substances atau ODP. Pencapaian tersebut karena konversi BPO jenis HCFC dengan bahan alternative yang lebih ramah Ozon dan juga ramah terhadap perubahan iklim yang dikenal sebagai BROCCOLI atau bebas bromin, chlorin dan pro-climate. (voi/nk)