Friday, 26 July 2019 13:36

Boris Johson: Harapan atau Kekhawatiran

Written by 
Rate this item
(0 votes)


Alexander Boris de Pfeffel atau biasa dikenal sebagai Boris Johnson,   akhirnya resmi menjadi Perdana Menteri Inggris yang baru, menggantikan Theresia May mengundurkan diri sebagai perdana menteri Inggris akibat kebuntuan Brexit pada 7 Juni lalu. Beberapa kalangan menilai May terpaksa mundur karena gagal menyampaikan rencana Brexit-nya untuk meninggalkan Uni Eropa. Dalam pemungutan suara internal di kalangan Partai Konservatif, Johnson meraih 92.153 suara dan mengungguli rivalnya, Jeremy Hunt yang saat ini menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Inggris, yang meraih 46.656 suara.

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyampaikan ucapan selamat kepada Boris Johnson melalui akun twitternya, @jokowi pada hari Kamis (25/7). Dia berharap ada peningkatan hubungan bilateral antara Indonesia dan Inggris serta dapat mempererat hubungan kedua negara.  Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga menyampaikan ucapan selamat dan keyakinan bahwa Boris Johnson akan mencapai hasil terbaik dalam posisinya sebagai Perdana Menteri. 

Respon berbeda terlihat dari ucapan selamat dari Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif menyusul terpilihnya Boris Johnson dalam pemungutan suara internal partai berkuasa Inggris, Partai Konservatif. Minister Zarif menyampaikan bahwa Iran tidak mencari konfrontasi; Iran menginginkan hubungan normal atas dasar saling menghormati. Hal ini terkait dengan desakan Iran agar Inggris melepaskan tanker setelah pemerintah otoritas Inggris menyita sebuah kapal tanker Iran di lepas pantai Gibraltar karena dicurigai membawa minyak ke Suriah. Menteri Zarif menuding langkah Inggris tersebut dipengaruhi oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Sementara itu, nada kekhawatiran terbaca dalam ucapan selamat yang disampaikan ketua Komisi Eropa, Ursula von der Leyen yang menyebutkan akan  ada masa-masa berat menanti Inggris dan Komisi Eropa.  Senada dengan von der Leyen, negosiator Uni Eropa untuk Brexit, Michel Barnier menyebut  ketika Boris Johnson resmi menjabat, maka pihaknya akan memfasilitasi ratifikasi Kesepakatan Keluar dan mencapai Brexit yang sesungguhnya.

 Hungga saat ini, parlemen Inggris menolak Kesepakatan Brexit. Inggris seharusnya meninggalkan Uni Eropa pada 29 Maret 2019 lalu. Namun, hal ini ditolak tiga kali oleh anggota parlemen Inggris. Brexit kemudian diperpanjang menjadi 12 April 2019 dan akhirnya diperpanjang lagi hingga 31 Oktober 2019 bahkan bisa lebih cepat. 

Dalam posisi ini, sikap politik Boris Johnson menimbulkan kontroversi. Dia berjanji akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) sampai 31 Oktober mendatang, tenggat waktu yang ditentukan oleh Uni Eropa, apapun caranya. Beberapa kali, PM Boris Johnson dia menegaskan bahwa ia akan memutuskan Brexit, baik dengan maupun tanpa kesepakatan dengan Uni Eropa (No Deal Brexit).  Pernyataan itu menyulut kontroversi sengit. Karena berbagai institusi ekonomi di Inggris, termasuk Bank Sentral, sudah memperingatkan bahwa Brexit tanpa kesepakatan akan menjerumuskan Inggris ke resesi ekonomi berkepanjangan.

Akhirnya, untuk menjwab berbagai prediksi dan kekhawtiran, kita tinggal wait and see apa yang akan dilakukan oleh Perdana Menteri baru Inggris, Boris Johnsion. Selamat memimpin Inggris.

Read 764 times