Pekan kedua bulan September 2019, Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani mengatakan, Pemerintah Indonesia memutuskan menaikkan cukai rokok sebesar 23%. Sri Mulyani menambahkan, dengan kenaikan ini, harga jual eceran rokok juga mengalami kenaikan sebesar 35%. Keputusan ini akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan akan berlaku pada 1 Januari 2020.
Beberapa hari belakangan ini di Indonesia, harga baru sebungkus rokok menjadi viral. Harga rokok produksi lokal yang saat ini masih sekitar 23 ribu rupiah, dikabarkan akan mencapai 48 ribu rupiah. Kenaikan harga rokok di Indonesia, memang mendapat perhatian besar dari berbagai pihak. Bagaimana tidak, Laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) berjudul The Tobacco Control Atlas, Asean Region menunjukkan pada tahun 2013 sekitar 65,19 juta penduduk Indonesia adalah perokok.
Menaikkan cukai rokok di Indonesia, seperti memakan buah simalakama. Bila tak dinaikkan, jumlah kematian akibat konsumsi produk tembakau mungkin bertambah. Kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Tahun 2015 menunjukkan konsumsi produk tembakau di Indonesia menyumbang lebih dari 230.000 angka kematian setiap tahunnya. Kanker paru menempati urutan pertama penyebab kematian yaitu sebesar 12,6%. Di sisi lain, Industri Hasil Tembakau dinilai merupakan salah satu sektor manufaktur nasional yang memiliki kontribusi besar. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia mencatat sektor industri rokok menyerap hampir 6 juta tenaga kerja.
Betapapun, tetap harus ada yang diutamakan. Menaikkan cukai rokok adalah tindakan yang harus diambil pemerintah, dan tak bisa ditunda lagi. Apalagi mengingat Indonesia bertekad kuat untuk menciptakan sumber daya manusia unggul. Fakta memperlihatkan, konsumsi tembakau telah menjadi intrumen efektif untuk mendegradasi kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia. Menciptakan Sumber Daya Manusia Unggul harus dilakukan sejak dini. Salah satu penyebab tak terbentuknya sumber daya manusia unggul, adalah stunting, gagalnya pertumbuhan anak akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Fakta di lapangan menunjukkan hampir sekitar 70 persen perokok di Indonesia adalah keluarga miskin. Bagi mereka, rokok menjadi prioritas kedua setelah beras.
Kenaikan harga rokok yang optimal, perlu dilakukan. Tidak ada lagi harga rokok yang murah. Masyarakat miskin pun tidak lagi dengan mudah dapat membeli rokok. Dana yang semula dikeluarkan untuk membeli rokok dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi. Semoga Sumber Daya Manusia Unggul Indonesia akan lebih cepat terbentuk.