Perhelatan pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif dan Presiden di Indonesia masih satu tahun lagi. Namun atmosfir kompetisi sudah mulai terasa. Pasca pengumuman partai peserta Pemilu beberapa waktu lalu, ruang publik diramaikan dengan perbincangan seputar manuver poltik. Mulai dari kemungkinan partai mana saja yang akan merajai perolehan suara, hingga bakal capres-cawapres kuat yang akan mereka usung untuk menantang petahana. Di tengah topik diskusi utama tersebut pun mengemuka cerita klasik mengenai hadirnya partai yang akan membawa-bawa nama Soeharto, Presiden RI ke-2. Partai tersebut adalah Partai Berkarya yang dipimpin putra bungsu Soeharto, Hutomo “Tommy” Mandala Putra. Partai ini dinyatakan oleh Komisi Pemilihan Umum lolos menjadi peserta Pemilu 2019. Lambang partai ini mirip dengan lambang Partai Golkar, partai yang dulunya menjadi kendaraan penguasa di era Orde Baru. Terlepas dari hal itu, kehadiran Tommy sebagai ketua umum partai jelas mengisyaratkan nama Soeharto akan menjadi komoditas politik mereka. Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Baddarudin Andi Picunang mengakui jika partainya akan mengadopsi program-program yang berhasil pada era Orde Baru.
Meski sejumlah kalangan melihat sebelah mata keberadaan Partai Berkarya, menarik untuk dicermati sejauh mana kiprah partai ini dalam pemilu nanti. Apalagi sebelumnya partai-partai yang didirikan di era reformasi dan terkait dengan anak-anak Soeharto berguguran dengan sendirinya. Sementara di saat yang bersamaan, hasil beberapa survei menyebutkan Soeharto sebagai presiden yang berhasil. Sehingga dapat diartikan ingatan sebagian masyarakat tentang Jenderal Bintang Lima yang pernah berkuasa selama 32 tahun tersebut masih cukup kuat tertanam di bebagai pelosok daerah. Hal itu setidaknya terlihat dengan terpenuhinya ketentuan jumlah pengurus dan anggota Partai Berkarya di seluruh Indonesia, sebagai syarat untuk mengikuti pemilu. Apakah itu sebuah bukti? Yang pasti Tommy yang pernah jadi narapidana dan dijatuhi hukuman dari tahun 2002 hingga 2006, karena merencanakan pembunuhan terhadap Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pada 26 Juli 2001, kepemilikan senjata api dan amunisi, dan sengaja melarikan diri.atas tindak pidana itu, kini memimpin salah satu partai peserta Pemilu 2019.
Memang bukanlah sesuatu hal yang baru jika anak mantan presiden yang sempat dipinggirkan akhirnya kembali ke pusat pusaran politik di Indonesia. Megawati Soekarnoputri, anak Presiden RI pertama pun pada akhirnya dapat memimpin dan membesarkan satu partai bahkan sampai pada posisi presiden. Sesuatu yang mustahil dapat dicapainya di masa Orde Baru.
Sekarang, tinggal bagaimana mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi. Roda kehidupan terus berputar. Namun kebaikan haruslah tetap dikedepankan. Tidak dilepaskan ketika berada di bawah terlebih ketika berada di atas. Dan itu harus menjadi acuan para pemilih dalam menentukan siapa yang akan memimpinnya. Nama besar mantan presiden boleh saja menjadi jualan peserta pemilu. Namun sikap kritis jangan sampai ditinggalkan karena sebuah nama tidak pernah cukup untuk membangun masa depan yang penuh tantangan dengan karakteristik berbeda satu dengan lainnya.