Pada pertengahan minggu lalu, Bank Dunia menaikkan status Indonesia dari Negara berpendapatan menengah ke bawah menjadi berpendapatan menengah ke atas. Bank Dunia menaikkan status Indonesia berdasarkan penilaian terkini. Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per capita Indonesia tahun 2019 tercatat naik menjadi US$ 4.050 dari US$ 3.840 di tahun 2018. Bank Dunia membuat klasifikasi negara berdasarkan PNB per capita dalam 4 kategori, yaitu: Low Income atau berpendapatan rendah (USD1.035), Lower Middle Income (menengah ke bawah) (USD1.036 - USD4,045), Upper Middle Income (menengah ke atas) (USD4.046 - USD12.535) dan High Income atau berpendapatan tinggi (lebih dari USD12.535).
Bank Dunia menggunakan klasifikasi ini sebagai salah satu faktor untuk menentukan suatu negara memenuhi syarat dalam menggunakan fasilitas dan produk Bank Dunia, termasuk loan pricing (penentuan nilai pinjaman).
Kenaikan peringkat Indonesia menjadi Negara berpenghasilan menengah ke atas akan memberikan beberapa keuntungan. Antara lain memperkuat kepercayaan serta persepsi investor, mitra dagang, mitra bilateral dan mitra pembangunan atas ketahanan ekonomi Indonesia.Juga meningkatkan investasi asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Memperbaiki kinerja current account atau akun berjalan/sekarang yang sampai saat ini masih defisit.Serta dapat meningkatkan daya saing ekonomi dan memperkuat dukungan pembiayaan. Selain itu, hal ini merupakan titik penting dalam tahapan strategis dan landasan kokoh menuju Indonesia Maju Tahun 2045.
Dibalik keuntungan yang dapat diraih Indonesia dengan kenaikan peringkat tersebut, terdapat faktor tantangan. Misalnya, dari sisi perdagangan internasional, kenaikan status memiliki konsekuensi pada produk Indonesia yang semakin sedikit mendapatkan fasilitas keringanan tariff. Amerika Serikat bisa jadi akan mencabut fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) atau fasilitas pembebasan bea masuk. Padahal, banyak produk Indonesia yang diuntungkan dari fasilitas GSP seperti tekstil, pakaian jadi, pertanian, perikanan, coklat, hingga produk kayu. Kenaikan status itu juga akan berdampak signifikan pada pembiayaan utang. Dengan naiknya status menjadi Negara berpenghasilan menengah ke atas, Indonesia dianggap mampu membayar dengan suku bunga atau rate yang lebih tinggi. Sementara Negara-negara kreditur akan memprioritaskan pinjaman bagi negara yang berpenghasilan di bawah Indonesia, khususnya kelompok Negara berpendapatan rendah. Kenaikan status tersebut juga akan mengancam serapan tenaga kerja jika tak disertai perubahan struktur ekonomi. Artinya Indonesia tidak perlu berbangga dulu dengan status baru ini karena ada banyak tantangan yang akan dihadapi.