Monday, 30 April 2018 00:00

Tradisi Pasola Sumba

Written by 
Rate this item
(0 votes)

 

 

Pulau Sumba adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan Australia di selatan dan tenggara. Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu atau agama lokal masyarakat sumba.

Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya. Menurut cerita rakyat Sumba yang berkembang secara turun temurun, Tradisi Pasola berawal dari kisah seorang janda cantik bernama Rabu Kaba di Kampung Waiwuang yang mempunyai seorang suami bernama Umbu Dulla, salah satu pemimpin di kampung Waiwuang.

Pada suatu hari, Umbu Dulla pamit kepada isterinya untuk pergi melaut bersama dua orang pemimpin adat lainnya yaitu Ngongo Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Namun dalam perjalanan, mereka bertiga berubah pikiran dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke selatan pantai Sumba untuk bercocok tanam padi. Oleh karena itu, mereka tidak pulang dalam waktu lama sehingga rakyat mereka menganggap mereka telah meninggal di laut. Rakyat pun mengadakan upacara perkabungan. Dalam keadaan yang demikian itulah, janda cantik dari almarhum Umbu Dula, Rabu Kaba terlibat asmara dengan Teda Gaiparona, seorang laki-laki dari Kampung Kodi.

Sejak peristiwa inilah tradisi pasola dilakukan di Sumba dan Sumba Barat. Tradisi Pasola pun di awali dengan adat nyale. Adat nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai. Para Rato (pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang. Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya. Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka.

Setelah upacara penangkapan nyale sukses yang ditandai dengan banyaknya hasil tangkapan yang kemudian “disidangkan” di hadapan Majlis Para Rato, maka setelah itulah upacara pasola dapat dilaksanakan. Pasola dilaksanakan di lapangan yang luas sebagai “medan pertempuran” dan disaksikan oleh seluruh warga dan wisatawan baik lokal maupun internasional. Setiap kelompok yang terlibat dalam pasola terdiri dari sekitari 100 orang pemuda bersenjatakan sola atau tombak yang terbuat dari kayu berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm.

Kedua kelompok pemuda tersebut saling berhadap-hadapan dan saling menyerang layaknya sebuah peperangan sungguhan antara dua kelompok kesatria Sumba. Dalam pelaksanaannya, tradisi pasola tidak jarang memakan korban jiwa. Dalam kepercayaan Marapu, korban yang terjatuh merupakan orang yang mendapatkan hukuman dari para Dewa karena telah melakukan dosa dan kesalahan dan darah yang tercucur dianggap dapat menandakan kesuburan tanah dan tanaman pada musim tanam mendatang. Bagaimana pendengar? Apakah Anda tertarik untuk menyaksikan langsung tradisi Pasola tersebut?. Anda dapat datang langsung ke pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Read 3739 times Last modified on Tuesday, 01 May 2018 15:24