Saudara, Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) serentak seluruh Indonesia telah sukes dilaksanakan pada 27 Juni lalu. Dari total 171 daerah yang menggelar pilkada, Komisi Pemilihan Umum telah menerima rekapitulasi perhitungan suara 111 daerah. Pasangan calon punya waktu tiga hari untuk mengajukan keberatan atas hasil rekapitulasi tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga Sabtu (7/7) tercatat sembilan permohonan sengketa hasil pilkada 2018 yang didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi. Sembilan permohonan itu berasal dari lima kota, yakni Cirebon, Madiun, Gorontalo, Parepare dan Tegal, serta tiga kabupaten, yaitu Bangkalan dengan dua permohonan, Biak Numfor dan Bolaang Mongondow Utara.
Dari sembilan permohonan itu, hanya dua yang memenuhi syarat Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu menyatakan, gugatan sengketa pilkada hanya bisa diajukan jika selisih suara penggugat dengan pemenang pilkada maksimum 2 persen. Dua daerah yang memenuhi syarat perselisihan suara ini adalah kota Cirebon dan Kota Tegal.
Meski demikian Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman menegaskan, semua permohonan sengketa ke MK akan tetap melewati tahapan registrasi, pemeriksaan pendahuluan, perbaikan permohonan dan pemeriksaan para pihak.
Memang sejak Pilkada 2017, Mahkamah Konstitusi bersikap lebih lunak kepada pemohon sengketa. Sejumlah kasus tetap ditangani meski selisih suara lebih dari 2 persen. Saat itu MK memberikan putusan untuk Kabupaten Tolikarya, Intan Jaya, Yapen dan Puncak Jaya di Papua, meski selisih suara antarpasangan calon di daerah itu sangat jauh.
Sudah tepat kebijakan yang diambil Mahkamah Konstitusi. Terdapat macam-macam dasar yang dapat dipakai Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa sebuah sengketa, tidak hanya selisih suara. Mungkin saja ada kejadian atau keadaan luar biasa pada saat rekapituliasi suara, atau faktor substansial lainnya. Azas keadilan dan kepastian hukum seharusnya menjadi dasar seluruh kebijakan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Dengan begitu, konflik di daerah dapat dicegah, karena Mahkamah Konstitusi sudah dapat menyelesaikan setiap pertentangan.