Para Menteri Pertahanan negara-negara anggota ASEAN mengadakan pertemuan di Singapura, 5-7 Februari 2018. Sayang, hasil yang diharapkan yaitu penyelesaian tata perilaku (code of conduct) dengan RRT di Laut China Selatan, masih belum tercapai. Dalam pernyataan setelah pertemuan ini, Menteri Pertahanan Singapura, Ng Eng Hen, hari Rabu (7/2) mengakui target waktu setahun untuk menyelesaikannya tidak realistis. Isu yang kompleks di dalam persoalan Laut China Selatan membuat tata perilaku belum juga disepakati.
Tahun lalu, ASEAN dan RRT telah mengadopsi kerangka (draft) tata perilaku di kawasan Laut China Selatan. RRT sudah sepakat untuk memulai pembicaraan dengan negara-negara anggota ASEAN yang mengklaim Laut China Selatan. Tahun ini tata perilaku yang mengikat dan disetujui RRT menjadi tujuan negara-negara ASEAN pengaju klaim. Namun hasilnya memamg masih belum seperti yang diharapkan. Mengapa mereka amat menginginkan tata perilaku ini segera? Beberapa negara menganggap RRT tidak menghormati kedaulatan negara-negara di kawasan Laut China Selatan.
Pihak RRT melalui juru bicara kementerian Luar Negeri, Geng Shuang mengatakan, Beijing sudah bekerjasama dengan negara-negara ASEAN untuk menyusun kode tata perilaku yang dapat memuaskan semua pihak.
Sebaliknya ASEAN melalui Menteri Luar Negeri Vivian Balakhrisnan dari Singapura, yang menjadi ketua ASEAN tahun ini, mengatakan keprihatinan para menteri ASEAN atas peningkatan aktivitas RRT di pulau buatan di Laut China Selatan. SedangkanIndonesia, punya konsep sendiri terkait kawasan Indo-Pasifik yang juga mencakup Laut China Selatan.
Diharapkan, kode tata perilaku yang dirancang ASEAN dengan RRT dapat segera dirampungkan, sehingga konflik di kawasan Laut China Selatan dapat diakhiri. Proses ini hendaknya dilakukan secara komprehensif agar para pihak dapat menerima tata perilaku ini dengan hati terbuka.