(Voinews.id)PT Pertamina (Persero) telah menetapkan program transisi energi sebagai prioritas utama perusahaan dengan menargetkan bauran energi dan pengurangan emisi gas rumah kaca yang lebih komprehensif.
"Pertamina berkomitmen untuk dikenal tidak hanya sebagai pemain energi global tetapi juga sebagai perusahaan yang ramah lingkungan, bertanggung jawab secara sosial, dan menjunjung tinggi tata kelola perusahaan yang baik," kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Senin.
Saat ini Pertamina telah memainkan peran penting dalam memimpin transisi industri energi Indonesia dan menargetkan penurunan emisi sebesar 30 persen sebelum tahun 2030.
Selain itu perseroan akan memprioritaskan pengembangan energi baru terbarukan untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang sejalan dengan bauran energi Indonesia pada 2030.
Pertamina juga mendukung pemerintah Indonesia dalam presidensi G20 yang telah memilih transisi energi sebagai salah satu prioritas utama dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut.
Sebagai bagian dari The Business 20 Task Force on Energy, Sustainability, and Climate, Pertamina memiliki prioritas yang sama dengan G20 Indonesia yang harus menjadi katalisator yang kuat untuk pemulihan hijau dan berjalan seiring dengan prinsip-prinsip ketahanan energi, pemerataan energi, dan kelestarian lingkungan.
Pada 2021 Pertamina telah membentuk komite berkelanjutan yang dipimpin langsung oleh Nicke Widyawati. Komite itu menaruh perhatian besar terhadap berbagai isu energi dunia termasuk program transisi energi.
Nicke menyampaikan upaya Pertamina mengembangkan energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dilakukan melalui delapan inisiatif strategis, antara lain pengembangan kilang hijau, pengembangan bioenergi, komersialisasi hidrogen, gasifikasi, inisiasi ekosistem baterai dan penyimpanan energi terintegrasi, serta peningkatan kapasitas terpasang panas bumi.
"Kami percaya bahwa sumber daya panas bumi Indonesia yang melimpah yang tersebar di cincin api dapat menjadi tulang punggung yang kuat untuk mempercepat transisi energi, yang sejalan dengan tujuan pemerintah Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih," pungkas Nicke Widyawati,antara
(Voinnews.id)Lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan Indonesia perlu meningkatkan ekspor produk olahan dan tidak menggantungkan ekspor pada produk komoditas yang bisa menyebabkan kinerja perdagangan dipengaruhi oleh fluktuasi harga dunia.
"Sekitar 45 persen ekspor Indonesia berbasis komoditas yang harganya fluktuatif dan sangat bergantung dengan dinamika yang terjadi di seluruh dunia,” kata Senior Fellow CIPS Deasy Pane dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin.
Deasy mengatakan ekspor Indonesia masih didominasi oleh produk berbasis komoditas yang harganya meningkat tajam. Sementara jika dilihat berdasarkan volume ekspor tidak meningkat secara signifikan.
Dia mengatakan konflik Rusia-Ukraina berpengaruh signifikan pada pergerakan harga komoditas yang akan mempengaruhi nilai perdagangan Indonesia, walaupun tidak berpengaruh langsung terhadap volume perdagangan Indonesia.
"Tingginya harga komoditas akan berpengaruh pada capaian ekspor Indonesia. Namun tidak mencerminkan kualitas dan daya saing produk Indonesia, serta hanya bersifat sementara," kata Deasy.
Dalam dua dekade terakhir kontribusi ekspor Indonesia ke dunia stagnan di angka 0,9 persen. Sementara pelaku usaha industri yang terlibat dalam kegiatan ekspor juga hanya sekitar 18 persen, yang menunjukkan mereka berorientasi domestik.
CIPS merekomendasikan agar pemerintah mendorong pelaku usaha berani bersaing di dalam negeri dan pasar ekspor, didukung oleh upaya peningkatan produktivitas dan kualitas sesuai standar internasional. Hal ini dapat dilakukan melalui komitmen pemerintah menciptakan iklim investasi yang mendukung, iklim persaingan usaha yang sehat, peningkatan kapasitas tenaga kerja, pembangunan dan infrastruktur.
Selain itu dukungan terhadap inovasi, riset dan pengembangan, dan penyerapan teknologi perlu ditingkatkan. Kurangnya ekosistem riset dan pengembangan bisa berdampak pada lemahnya motivasi pelaku usaha untuk berinovasi dan hanya memanfaatkan pasar domestik yang besar untuk mendapatkan keuntungan.
Menurut Deasy, riset dan pengembangan dibutuhkan untuk mengoptimalkan nilai produk atau menambah efisiensi proses, yang memang diperlukan untuk bersaing di pasar global.
“Dari sisi demand, pemerintah perlu memastikan akses pasar ekspor dapat mudah dan berbiaya rendah dengan penurunan hambatan tarif dan non tarif di pasar ekspor dan penyediaan informasi pasar yang lengkap dan mudah diakses,” katanya.antaranews