ofra voi

ofra voi

31
July

Tim Mahasiswa Universitas Diponegoro berhasil menciptakan alat konvertor kebisingan di Bandara menjadi energi listrik. Berawal dari kebisingan di bandara yang sebelumnya dibiarkan begitu saja, tiga mahasiswa Universitas Diponegoro-Undip menciptakan alat yang dapat mengubah kebisingan itu menjadi sesuatu yang bermanfaat.

Ketiga mahasiswa itu Rifki Rokhanudin, Ragil Adi Nugroho, dan Yudha Cindy Pratama, membuat penemuan alat mengonversi kebisingan di bandara menjadi energi listrik dan diberi nama ‘’Sound Energy Harvesting’’ atau disingkat ‘’Sinting’’.

Alat tersebut dirancang menggunakan prinsip kerja induksi elektromagnetik, seperti yang diterapkan dalam mikrofon. Namun, mikrofon hanya mampu menghasilkan arus sangat kecil. Maka dari itu, Sinting dirancang dengan mengikutsertakan teknologi tambahan sehingga arus listrik yang dihasilkan bisa lebih kuat.

Cara kerja alat ini adalah kebisingan ditangkap oleh reflektor parabola kemudian difokuskan pada sistem tranduser yang kemudian memicu terjadinya induksi elektromagnetik. Dari induksi elektromagnetik inilah dihasilkan energi listrik. Alat ini mampu menghasilkan tegangan mencapai 11,14 volt pada intensitas suara dari kebisingan sebesar 108,4 dBA.

Perancangan alat ‘Sinting” membutuhkan waktu selama kurang lebih tiga bulan, dilakukan di Laboratorium Fisika Elektronika dan Instrumentasi Undip dengan bantuan dosen pembimbing Dr. Catur Edi Widodo, M.T. Diharapkan alat tersebut dapat dikembangkan dalam skala implementasi dan dipasang di beberapa bandara di Indonesia.Alat tersebut dirancang melalui hibah penelitian Program Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

30
July

23 Juli kemarin Festival Seni Rupa Anak Indonesia bertajuk MAIN digelar di Galari NAsional Indonesia. Rencananya festival ini akan digelar sebulan penuh hingga 23 Agustus 2019. Menurut Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto, Melalui Festival Seni Rupa Anak Indonesia  MAIN), Galeri Nasional Indonesia menjadi rumah yang kondusif bagi anak-anak untuk bermain, belajar, dan berkreasi. Pustanto juga berharap Festival Seni Rupa Anak Indonesia dapat menjadi wadah edukasi dan apresiasi seni rupa yang tidak hanya memberikan pengalaman estetik, namun juga memunculkan inspirasi dan motivasi, menggugah daya imajinasi, serta mengembangkan potensi dan kreativitas.

Festival Seni Rupa Anak Indonesia terdiri dari pameran, pemutaran film, lokakarya, permainan, dan dongeng, yang secara keseluruhan terkait dengan sains, lingkungan, dan motivasi bagi anak-anak. Pameran menampilkan 74 karya pilihan dari 376 karya seni rupa anak Indonesia yang dijaring melalui aplikasi terbuka se-Indonesia. Terdiri dari 43 karya pemenang Lomba Lukis Kolektif Pelajar Galeri Nasional Indonesia (2009-2018), empat karya pemenang Lomba Lukis dan Cipta Puisi Anak-Anak Tingkat Nasional 2008, Istana Kepresidenan Cipanas, serta 34 karya seni rupa dari lembaga dan komunitas yang diundang khusus berdasarkan pertimbangan kuratorial. Karya-karya tersebut disajikan melalui lukisan, batik, keramik, fotografi, instalasi, film, digital art, seni interaktif, dan seni partisipatif.

 

untuk pemutaran film, ditayangkan lima film yang dikaitkan dengan lima eksperimen. Lokakarya menyajikan berbagai kegiatan yang memberikan kesempatan kepada publik untuk ikut aktif berpartisipasi membuat karya seni. Anak-anak diajak membuat wayang kardus, cap pada tas jinjing, bereksperimen warna monoprin menggunakan mesin cetak, mewarnai buku cerita, serta membuat jilid buku cerita dan belajar jilid buku gaya Jepang. Ada juga beragam permainan yang mengajak anak-anak bermain menggunakan daun, memainkan permainan tradisional Jepang, juga bermain boardgames dari Jerman. Tak kalah seru, ada pertunjukan dongeng bersama PM Toh dan Yoko Takafuji yang akan bercerita tentang tsunami. Ada pula dongeng tentang ular bersama Kak Andi Yudha sekaligus mengenal dan bermain bersama ular, serta menggambar ular pada kertas sepuluh meter. Galeri Nasional Indonesia buka dari setiap hari kecuali Senin, dari pukul 10.00 hingga 19.00 WIB untuk pameran.

 

30
July

Berwisata ke suatu daerah di Indonesia, jangan lupa juga untuk menikmati kuliner khasnya. Misalnya saja jika anda berwisata ke Provinsi Bangka Belitung, cobalah juga mencicipi makanan khas Bangka Belitung. Masakan Bangka Belitung dibedakan atas masakan khas Melayu dan masakan Tionghoa terutama masakan Hakka. Jika anda ingin mencoba menikmati masakan Melayu Bangka Belitung, cobalah Lempah Kuning. Lempah Kuning merupakan salah satu jenis dari masakah Lempah. Lempah adalah masakan berkuah yang biasanya berbahan dasar makanan laut atau daging sapi yang dibumbui rempah-rempah yang beraroma kuat. Dalam bahasa Belitung lempah disebut gangan. Masyarakat setempat mengenal berbagai jenis lempah, misalnya Lempah Kuning, Lempah Darat, dan Lempah Kulat.

Lempah Kuning berbahan dasar ikan kakap merah atau tenggiri. Sebagian masyarakat Bangka Belitung juga menggunakan ikan kembung, kerisi, atau bawal. Ikan tersebut dimasak dengan berbagai bumbu yang telah dihaluskan, seperti kunyit, cabai merah, bawang merah, bawang putih, lengkuas dan terasi. Alhasil Lempah ini memiliki kuah berwarna kuning. Biasanya juga dimasukkan potongan-potongan nanas. Ketika disantap, rasa asam, pedas, dan segar begitu terasa dari lempah kuning.Untuk varian lain, ada juga yang menambahkan mentimun sebagai pelengkap.

Masyarakat Pulau Belitung menyebut hidangan ikan kuah kuning dengan nama "gangan ketarap", sedangkan masyarakat Pulau Bangka menyebut hidangan yang sama dengan nama lempah kuning, karena kuahnya berwarna kuning. Masakan khas Bangka Belitung ini mudah dijumpai di berbagai rumah makan disana. Harganya relatif murah sekitar Rp. 15.000. hingga Rp. 20.000 per porsi lengkap dengan lalapan, seperti berupa terong bulat ungu, kecipir, kembang kunyit, dan timun.

29
July

Dua mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang menyulap biomassa limbah pertanian menjadi bubur kertas (pulp) dan kertas. Proses recycle itu menggunakan alat Cellulose from Biomass Waste (C-BOMS). Dengan menggunakan C-BOMS, kertas yang dihasilkan kedua mahasiswa FTP UB yang kreatif tersebut, yakni Sakinah Hilya dan Khodijah Adrebi, lebih berkualitas dan ramah lingkungan. Khodijah Adrebi menjelaskan, selama ini untuk membuat kertas, bahan baku utama yang digunakan adalah kayu hutan. Untuk memproduksi satu rim kertas dibutuhkan satu pohon berusia lima tahun. Ia mengemukakan pada 2016 konsumsi kertas dunia mencapai 394 juta ton dan diperkirakan akan meningkat menjadi 490 juta ton pada tahun 2020.Alasan inilah, membuat ia mencoba mencari bahan baku alternatif untuk memproduksi kertas.

Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian jumlah limbah biomassa, khususnya dari sektor pertanian dan perkebunan yang tidak didayagunakan mencapai 20 juta ton dalam setahun. Padahal di dalamnya terkandung selulosa dengan kadar yang tinggi.Selulosa inilah yang menjadi suatu indikasi penting dalam produksi bubur kertas (pulp) dan kertas. Semakin tinggi kadar selulosa dalam pulp, akan menghasilkan kertas dengan kualitas yang lebih baik.

Khodijah memaparkan limbah biomassa dari sektor pertanian tersebut diolah menjadi pulp dan kertas dengan menggunakan C-BOMS. C-BOMS memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan metode yang banyak diterapkan di industri pulp dan kertas saat ini, yakni metode kimiawi. Kelebihan tersebut antara lain lebih ramah lingkungan, waktu proses jauh lebih singkat, dan tidak membutuhkan proses thermal yang dapat mendegradasi selulosa. Karena proses yang efektif dan efisien akan diperoleh dengan pemanfaatan teknologi yang tepat.Harapan kami dengan adanya C-BOMS ini dapat membantu mewujudkan visi industri hijau yang terintegrasi dengan Industri 4.0 sekaligus menyejahterakan petani dengan tetap meningkatkan proses produksi yang selaras dengan penjagaan terhadap lingkungan.