Thursday, 24 May 2018 11:22

Terorisme, Mungkinkah Dihabisi?

Written by 
Rate this item
(0 votes)

 

 

Di Indonesia, telah terjadi berkali-kali aksi terorisme yang bukan hanya menghabisi nyawa si pelaku, namun juga nyawa orang-orang di sekitar tempat kejadian. Kejadian demi kejadian membuat masyarakat geram, mengapa terus saja terjadi aksi maut yang dapat menyebabkan konflik antar agama, kalau kita tak berpikir jernih dalam menyikapi berbagai teror di sekitar kita.

Yang terakhir, aksi teror bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga yang terdiri dari enam orang di Surabaya dan Sidoarjo pada 13 Mei 2018 dengan target operasi tiga buah gereja. Miris menyaksikan anak-anak di bawah umur dilibatkan untuk melakukan aksi bom bunuh diri tersebut.   

Dalam sebuah rapat terbatas pencegahan dan penanggulangan terorisme pada 22 Mei 2018 di Jakarta, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemberantasan terorisme tidak cukup hanya dengan penegakan hukum dan membongkar jaringan teroris hingga ke akarnya. Pemberantasan terorisme harus diimbangi dengan pendekatan soft power. 

Menurut Presiden, deradikalisasi mutlak dioptimalkan, bukan hanya untuk mantan teroris, melainkan juga untuk membersihkan lembaga pendidikan di semua jenjang dan mimbar umum dari paham sesat terorisme. 

Sadar atau tidak,  teroris ada di mana-mana. Banyak terduga teroris yang telah diringkus aparat. Namun, apakah mungkin tindakan hukum terhadap para teroris dapat menghabisi mereka sampai ke akarnya ?

Walaupun telah banyak teroris yang tertangkap dan menjalani hukuman, aksi mereka masih saja berulang dengan pelaku yang baru lagi. Jadi sebenarnya, apa yang harus dilakukan agar terorisme benar-benar tak ada lagi di negeri ini ? 

Ngeri mengetahui bahwa radikalisme telah masuk ke dunia pendidikan, dari usia  dini hingga perguruan  tinggi. Hasil survei LIPI pada 2016, 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila yang selama ini dikenal sebagai ideologi bangsa Indonesia yang bersifat majemuk,  tidak lagi relevan. Survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada 2017 juga menunjukkan 39% mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia terindikasi tertarik pada paham radikal.

Rektor Universitas Hasanuddin, Makassar, Dwia Tina Palubuhu, dalam rapat terbatas dengan Presiden, menyampaikan deradikalisasi dapat dilakukan dengan mengajak pelajar dan mahasiswa bangga sebagai bangsa Indonesia  yang damai dan toleran. Mereka harus  bangga memiliki Pancasila dengan nilai-nilai humanisme yang terkandung di dalamnya. Dalam forum itu, Kepala  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Suhardi Alius, mengusulkan untuk mengembalikan nasionalisme melalui kurikulum. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengharuskan semua guru untuk mengajarkan penguatan pendidikan karakter secara nyata, bukan hanya teori.

Yang terpenting, masyarakat  harus selalu waspada untuk tidak terpancing dan terpengaruh dengan ajaran-ajaran yang menyesatkan dan tidak masuk akal. Bentengi diri dengan pemahaman agama yang benar, agama yang cinta damai.

Read 990 times Last modified on Tuesday, 29 May 2018 06:18