Friday, 09 February 2018 15:22

Hari Ini Dalam Sejarah

Written by 
Rate this item
(0 votes)

Tanggal  9 Februari 1946 memang punya nilai historis bagi komunitas pers di Indonesia. Pada waktu itu sejumlah wartawan dari berbagai pelosok dan pulau di Indonesia berkumpul dan bersepakat untuk mendirikan sebuah organisasi Persatuan Wartawan Indonesia-PWI sebagai wadah persatuan para wartawan di Indonesia. PWI adalah organisasi wartawan pertama pasca kemerdekaan Indonesia.Namun, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama yang didirikan di Indonesia. Jauh sebelum itu, di zaman Belanda sejumlah organisasi wartawan telah berdiri dan menjadi wadah organisasi para wartawan. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond -IJB. Organisasi ini berdiri pada tahun 1914 di Surakarta. Pendiri IJB antara lain Mas Marco Kartodikromo,  Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono dan Ki Hadjar Dewantara. IJB merupakan organisasi wartawan pelopor yang radikal, dimana sejumlah anggotanya sering diadili bahkan ada yang diasingkan ke Digul oleh penguasa kolonial Belanda.

Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor  5 tahun 1985, maka hari lahir PWI itu resmi menjadi Hari Pers Nasional. Secara eksplisit Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 tersebut dengan tegas menyebutkan hari terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 9 Februari 1946 di Solo merupakan tonggak bersejarah bagi kehidupan dan perkembangan pers nasional Indonesia.

 

Kami  akhiri  dengan  peristiwa tanggal 9 Februari 1967 Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengajukan resolusi dan memorandum kepada Presiden Sukarno 

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara-MPRS meminta pertanggungjawaban terhadap Presiden Sukarno dalam Sidang Umum MPRS 1966 atas terjadinya pemberontakan Gerakan  30 September Partai Komunis Indonesia atau G30 S/ PKI, kemerosotan ekonomi dan moral. Untuk memenuhi permintaan MPRS tersebut maka Presiden Sukarno menyampaikan amanatnya pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul Nawaksara atau sembilan pasal. Amanat tersebut oleh MPRS dipandang tidak memenuhi harapan rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijaksanaan Presiden sebagai Mandataris MPRS mengenai peristiwa G 30 S /PKI serta kemerosotan ekonomi dan moral. Oleh karena itu MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapi Nawaksara tersebut. Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno memberikan pelengkap Nawaksara. Akan tetapi isinya juga tidak memuaskan banyak pihak. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengajukan resolusi dan memorandum tanggal 9 Februari 1967 menolak Nawaksara berikut pelengkapnya. Selanjutnya DPR- GR mengusulkan kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden sebagai Mandataris MPRS dan mengangkat Pejabat Presiden.

 

 

Read 1320 times Last modified on Saturday, 10 February 2018 13:29