Komentar

Komentar (900)

02
January

 

VOI KOMENTAR Dalam beberapa bulan ke depan, 171 daerah di Indonesia akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Kesiapan penyelenggara pun menjadi kunci penting, agar kejadian yang tak diinginkan seperti  di pilkada tahun-tahun sebelumnya tidak terulang kembali.

Pilkada tahun 2018 adalah Pilkada serentak gelombang tiga yang pernah diselenggarakan di Indonesia.  Pilkada gelombang pertama diselenggarakan tahun 2015 dan yang ke  dua tahun 2017. Pilkada yang kini  dijadwalkan akan diselenggarakan Juni 2018, diikuti 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.  

Berdasarkan hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) Pilkada Serentak 2018 menyentuh angka 160 juta jiwa. Jumlah ini, menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), menyebabkan potensi konflik pun menjadi  sangat besar. Selain itu, anggaran yang berputar pada Pilkada 2018 pun  mencapai rekor tertinggi dalam sejarah Pilkada di Indonesia, yaitu 20 triliun Rupiah.

Bangsa Indonesia berharap, Pilkada Serentak 2018 dapat berjalan sukses. Semoga semua pihak termasuk penyelenggara, partai politik yang mengusung pasangan calon kepala daerah, peserta atau calon itu sendiri,  maupun para pemilih, dapat mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa.

Berkaca pada pengalaman Pilkada sebelumnya, kontestasi pasangan calon dan partai politik dinilai berpotensi menimbulkan konflik. Misalnya, bila ada pasangan calon yang  lebih mengedepankan kesukuan, agama, atau pun kelompok,  ketimbang program untuk menarik suara pemilih. Semoga hal seperti  ini tidak terjadi lagi. Karena setelah berulang kali melaksanakan Pilkada dan juga Pemilu , bangsa Indonesia sepatutnya sadar bahwa kesatuan dan persatuan adalah yang terpenting dibanding sekedar  ambisi untuk menjadi pemimpin.

04
November

VOI KOMENTAR Dua referendum, satu di Katalonia dan satu lagi di Kurdistan, dilakukan dalam waktu yang berdekatan. Keduanya   berakhir dengan hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu tanpa pengakuan dari negara lain. Mahkamah Agung Spanyol menyatakan referendum Katalan ilegal, sehingga Pemerintah Spanyol akhirnya melaksanakan pasal 155 UUD.  Yaitu,memberi kekuasaan Pemerintah Pusat di Madrid, mengambil alih kekuasaan pemerintah otonomi lokal di Katalonia. Hal ini dilakukan setelah ultimatum Madrid kepada para pemimpin Katalan tidak digubris, dengan mendeklarasikan kemerdekaan Katalan pada 27 Oktober lalu. Madrid pun membubarkan pemerintahan otonomi Katalonia.

Hal yang kurang lebih sama terjadi juga di Kurdistan. Pemerintah pusat Irak, tidak menerima hasil referendum yang diikuti oleh lebih dari 70% penduduk Kurdi, yang berjumlah hampir 8,5 juta jiwa. Lebih dari 90% pemilih menjawab ya untuk kemerdekaan. Hasil ini membuat berang Baghdad. Selain itu, negara-negara yang juga dihuni orang Kurdi seperti Turki dan Iran, ikut  menentang referendum itu.

Para pemimpin Katalan di bawah Presiden Carles Puigdemont menghadapi tuduhan berat yaitu pemberontakan dengan ancaman hukuman sampai 30 tahun. Belgia, salah satu negara anggota Uni Eropa mengisyaratkan membuka peluang suaka bagi Puigdemont.

Lain halnya dengan Presiden Kurdistan, Massoud Barzani. Meskipun mendapat dukungan rakyat, Barzani tidak mendapat dukungan oposisi di pemerintahan otonomi Kurdistan. Partai Gorran atau Gerakan Perubahan menentang referendum. Barzani memutuskan untuk mengundurkan diri dari tampuk pimpinan daerah otonomi Kurdistan per 1 November 2017 setelah memerintah selama 12 tahun. Turki dan penentang referendum menyambut baik pengunduran diri Barzani.

Referendum yang dilaksanakan dengan penuh semangat oleh para pemilih ternyata berakhir karena ketiadaan pengakuan dari negara lainnya. Indonesia tidak mengakui pemisahan Katalan dari Spanyol. Rerendum terbukti  bukan hanya sekedar memilih  “Ya” dan “Tidak” untuk suatu keputusan. Proses politik yang bisa menguras energi ternyata dapat juga menjadi faktor yang ikut menentukan kelanjutan dari referendum. Tampaknya pilihan yang tersisa adalah memanfaatkan otonomi yang telah diberikan dengan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat daerah otonom.

04
November

 

VOI KOMENTAR  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang berdasarkan Pancasila,

04
November

VOI KOMENTAR Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi mengunjungi negara bagian Rakhine kemarin,  Kamis 2 November 2017.  Ini adalah kunjungannya yang   pertama kali sejak wilayah yang dihuni etnis muslim Rohingya itu diguncang konflik Agustus lalu. 600 ribu muslim Rohingya  terpaksa mengungsi, kebanyakan ke negara tetangganya Bangladesh,  akibat konflik tersebut. 

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi hak asasi internasional melihat bukti adanya pembersihan etnis di Rakhine. Mereka mengatakan ratusan muslim Rohingya tewas dan mayoritas warga etnis Rohingya terusir dari tanah kelahirannya dengan cara pembakaran rumah, pemerkosaan dan pembunuhan.

Sebaliknya, pemerintah Myanmar mengatakan  pihaknya sedang memerangi teroris Rohingya,  yang melancarkan serangan terhadap pos-pos keamanan dan  menewaskan belasan orang.

Dengan penjagaan ketat, Aung San Suu Kyi mengunjungi Maungdaw, wilayah yang paling parah terdampak kekerasan. Disana peraih penghargaan Nobel perdamaian itu bertemu dengan para ulama muslim. Menurut laporan kantor berita AFP ada tiga pesan yang disampaikan Suu Kyi kepada mereka, yaitu mereka harus hidup damai, pemerintah akan membantu mereka, dan mereka tidak boleh saling bertengkar. 

Meskipun sejak partainya menang pemilu 2015,  Suu Kyi secara de facto adalah kepala pemerintahan Myanmar, kekuasaannya dibatasi konstitusi yang dibuat oleh junta militer sebelumnya. Militer memiliki hak veto atas undang-undang, menguasai beberapa kementerian yang strategis, keamanan dan pertahanan. Pihak militer melancarkan operasi di Rakhine, dan Aung San Suu Kyi tidak punya kuasa untuk menghentikannya.

Dengan kekuasaan yang terbatas itu,  Suu Kyi menghadapi kritik internasional. Sebagai pejuang demokrasi,   ia dianggap lamban dalam merespon pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine. Di lain pihak, ia juga akan menghadapi tentangan mayoritas warga Myanmar, jika ia membela warga Rohingya. Sebagian besar penduduk Myanmar setuju dengan klaim pemerintahnya, bahwa Rohingya bukan penduduk asli Myanmar , melainkan imigran gelap dari Bangladesh.  Faktanya, meski mungkin  benar  berasal usul dari Bangladesh, mereka sudah tinggal di sana selama beberapa generasi , dan jumlahnya pun telah mencapai lebih dari 1,5 juta  orang. 

Kunjungan Aung San Suu Kyi ke Rakhina diharapkan ditindaklanjuti dengan penghentian kekerasan terhadap etnis Rohingya. Hingga kini arus pengungsi Rohingya terus mengalir walaupun tak sebanyak sebelumnya. Tidak ada cara lain bagi militer Myanmar, selain bekerja sama dengan pemerintah sipil, dalam mengatasi krisis kemanusiaan berkepanjangan ini. 

Atas nama kemanusiaan militer Myanmar harus melindungi etnis Rohingya di Myanmar. Mereka tentu tidak ingin perhatian teroris internasional mengarah ke Myanmar dan menimbulkan persoalan baru disana. Negara yang baru lepas dari sanksi ekonomi ini harus mampu mengatasi persoalan dalam negeri yang mungkin dapat menghambat investasi dan transisi demokrasi yang sedang berjalan. 

Page 65 of 65