Suprapto

Suprapto

14
September

Hari ini akan memperkenalkan kepada anda Tradisi Mamiang Bagas. Ada tradisi unik yang hingga kini masih dilestarikan masyarakat Desa Aek Banir, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Mereka punya tradisi angkat rumah secara beramai-ramai yang dikenal dengan sebutan dalam bahasa Mandailing, yakni "Mamiang Bagas". Mamiang Bagas merupakan tradisi mengangkat rumah panggung yang terbuat dari kayu secara beramai-ramai. Bagi warga yang hendak memindahkan rumahnya akan dibantu oleh warga sekitar dengan sukarela. Bobot rumah yang dipindahkan tentu saja tidak ringan, bisa saja ratusan kilogram beratnya. Jarak rumah yang dipindahkan ke lokasi baru juga tidak dekat. Tradisi turun temurun ini terus dilakukan sebagai cerminan dari sifat gotong royong masyarakat yang masih terjaga di Kabupaten Madina, Sumut.

kegiatan Mamiang Bagas, diawali dengan undangan musyawarah dari pemilik rumah untuk menentukan tanggal pelaksanaan kegiatan. Pada musyarawah tersebut, biasanya para pemuda desa berkumpul bersama. Pada hari yang telah ditentukan, batang bambu yang telah dipersiapkan mulai diikat di setiap tiang penyanggah rumah. Selain batang bambu, rute yang akan dilalui juga sudah dibersihkan dan diamankan sehingga dapat dilalui. Melalui satu teriakan komando, rumah panggung itu pun mulai terangkat dari permukaan tanah dan bergerak.

warga harus memanggul rumah kayu ini secara bersamaan. Tak jarang warga harus berkali-kali menurunkan rumah karena terlalu berat, lalu diangkat kembali. Untuk sampai di tujuan, bisa memakan waktu hingga berjam-jam, apa lagi jika lokasi yang baru melewati jalan dan daerahnya sempit. Suara teriakan para warga ini terdengar bersahut-sahutan membuat suasana semakin semangat dan ramai. Pada akhirnya, rumah panggung tersebut dapat menempati lokasi baru.

setelah rumah panggung berhasil dipindahkan ke lokasi yang baru, kegiatan dilanjutkan dengan acara syukuran, dengan tujuan agar rumah yang baru saja dipindahkan terhindar dari bencana dan malapetaka. Tradisi Mamiang Bagas diakhiri dengan acara makan bersama sebagai bentuk ikatan silaturahmi kekerabatan yang erat antar warga. Makan bersama adalah ungkapan terimakasih dari pemilik rumah kepada semua warga yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga membantu memindahkan rumahnya

14
September

Dalam edisi Warna Warni kali ini saya sajikan informasi mengenai   Surabaya Sukses Turunkan Suhu Kota Hingga 2 Derajat. 

Surabaya menjadi tuan rumah penyelengaaraan Kongres ke-7 asosiasi United Cities and Local Governments Asia-Pacific- UCLG ASPAC. Kongres dua tahunan ini merupakan pertemuan organisasi Pemerintah kota dan Pemerintah daerah se Asia-Pasifik yang digelar pada 12 hingga 15 September 2018. Diskusi antar kepala daerah ini menyangkut berbagai kebijakan yang sedang dilakukan sesuai tema yang diangkat yakni "Innovation Driven Development for Sustainable Cities." Tri Rismaharini berharap kongres ini bisa menjadi solusi bagi permasalahan kota. Kongres akan diikuti sekitar 800 peserta dari 50 kota berbagai negara di Asia Pasifik dan beberapa negara anggota UCLG di luar Asia Pasifik.

Saat menjadi pembicara dalam kongres UCLG Asia Pasific, Rabu (12/9), Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyatakan suhu kotanya turun hingga 2 derajat Celsius dari kisaran 34 sampai 36 derajat Celsius. Keberhasilan ini setelah pembangunan banyak taman dan hutan kota serta penerapan program-program pemeliharaan lingkungan seperti hari bebas kendaraan. Risma mengatakan setiap tahun Pemerintah Kota Surabaya membangun 10 sampai 20 taman, dua hutan kota, serta 10 sampai 15 lapangan olahraga. Pihaknya juga sedang mengerjakan pembangunan Kebun Raya Mangrove pertama di Indonesia. Surabaya juga terus melakukan revitalisasi sungai, sehingga inilah yang berpengaruh pada penurunan suhu.

Selain agenda kongres dan diskusi, peserta juga dibawa berkeliling untuk melihat sejumlah tempat bersejarah di Surabaya. Dua lokasi yang dikunjungi di antaranya Monumen Tugu Pahlawan dan Museum House of Sampoerna . Delegasi kemudian melanjutkan tur ke Jembatan Suroboyo, Kenjeran. Disana mereka melihat berbagai macam hiburan dan atraksi keindahan Jembatan Suroboyo yang diterangi gemerlap lampu warna-warni dan iringan musik jazz.

 

14
September

Edisi kali ini, menghadirkan lagu-lagu dari daerah Maluku Utara.Untuk membuka perjumpaan kali ini, mari kita dengarkan lagu berjudul “Hela Rotane” dibawakan oleh Tania. Lagu yang berirama ceria ini tidak hanya dikenal oleh masyarakat Maluku, namun juga dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Selain sering dibawakan dalam acara-acara ditingkat daerah dan nasional, Hela Rotane bahkan juga dibawakan dalam acara-acara internasional.

Lagu Hela Rotane bercerita tentang permainan tradisional yaitu hela rotan. Di Daerah lain permainan ini disebut tarik tambang. Hela berarti tarik dan rotan adalah tanaman rotan yang digunakan sebagai alat lomba adu kekuatan. Jika di daerah lain menggunakan tali, masyarakat Maluku menggunakan rotan. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh sosial masyarakatnya pada masa lalu.

selanjutnya kita dengarkan lagu berjudul “Halmahera”, dibawakan oleh Soraya Kamarullah. Lagu ini bercerita tentang Halmahera yang merupakan pulau terbesar di kepulauan Maluku.

demikianlah lagu berjudul “Halmahera.” Berbeda dengan lagu sebelumnya yang berirama ceria, lagu “Halmahera” ini berirama mendayu. Pengaruh musik dan irama melayu terdengar cukup kental dalam lagu ini. Dalam kesehariannya masyarakat Maluku Utara menggunakan bahasa Melayu Maluku Utara atau bahasa Melayu Ternate, yang juga digunakan dalam lagu-lagunya. Di wilayah kepulauan Sula, masyarakatnya menggunakan bahasa Melayu Sula yang mirip dengan bahasa Melayu Ambon, namun strukturnya tetap mengikuti bahasa Maluku Utara.

Kota Ternate merupakan salah satu kota di pulau Ternate, yang terletak di kaki gunung Gamalama. Lagu yang dibawakan oleh Naruwe berikut ini akan menceritakan tentang Kota Ternate. Pelangi nada kali ini akan ditutup dengan lagu berjudul “Banau” yang dibawakan oleh Dewi Usman.

13
September

Hari ini akan memperkenalkan kepada anda Ritual Gumbregan. bagi petani, hewan seperti sapi dan kerbau amatlah berarti. Kedua hewan tersebut banyak digunakan untuk membantu para petani di sawah atau ladang. Karenanya, petani selalu berharap hewan ternaknya selalu sehat bahkan terus beranak-pinak. Harapan ini, bagi sebagian masyarakat petani mereka visualisasikan melalui ritual, salah satunya ritual Gumbregan. Selain berdoa agar hewan ternak sehat dan beranak pinak, ritual ini juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, ritual ini juga digelar untuk mempererat tali persaudaraan antar warga tanpa memandang latar belakangnya.

Gumbregan hingga kini masih dilestarikan turun-temurun oleh masyarakat dusun pokoh 2, Dlingo, Bantul, Yogyakarta. Tahun ini, ritual Gumbregan dilakukan dengan mengarak sapi, kambing, dan gunungan (tumpukan makanan hingga berbentuk gunung) keliling kampung. Warga mengarak hewan yang dihias seperti pengantin pada bagian depan. Kemudian disusul iring-iringan gunungan, kesenian, dan tokoh serta pemuka dusun. Arak-arakan hewan ternak ini menuju ke lapangan kampung. Arak-arakan diiringi alunan alat musik reog dan doger. Setelah sampai, puluhan hewan ternak ditempatkan di tempat teduh menunggu upacara dimulai.

berkumpul di lapangan, warga membawa tumpeng nasi putih dan gudangan. Gudangan adalah sayur rebus dicampur dengan parutan kelapa. Kemudian warga mengambil air dari pancuran dengan wadah menuju tempat hewan ternak warga. Air dicipratkan ke ternak menggunakan daun dadap serep. Daun dadap serep dipercaya bisa memberikan rasa tenang pada hewan, bahkan daun ini masih banyak digunakan untuk pengobatan tradisonal masyarakat setempat. Selanjutnya tokoh masyarakat dan masyarakat setempat mendoakan nasi gudangan. Kemudian pemilik hewan ternak memberikan nasi gudangan ke hewan ternaknya. Sapi dan kambing warga memakan nasi dengan lahapnya.

Disela ritual Gumbregan, warga juga dihibur pementasan kesenian berupa penampilan seni tari tradisional dari sanggar setempat. Sementara pada malam harinya diadakan pagelaran wayang kulit. Ritual unik ini terus dilestarikan turun-temurun oleh pemerintah daerah setempat, karena bisa menjadi penambah daya tarik wisata daerah mereka, apalagi jika dikemas lebih menarik.