29
April

 

VOInews.id- Presiden terpilih Asosiasi Medis Korea (KMA), Lim Hyun-taek, mendesak pemerintah untuk sepenuhnya membatalkan usulan rencana reformasi medis, termasuk kenaikan kuota sekolah kedokteran, serta membuka diskusi dengan dokter dari awal. “Ini bukan konflik antara komunitas medis dan pemerintah. Sebaliknya, ini adalah penyalahgunaan kekuasaan secara sepihak oleh pihak berwenang,” kata Lim dalam rapat umum KMA di Seoul, Minggu.

 

Jika pemerintah tidak membatalkan rencana reformasi medis, lanjutnya, komunitas medis tidak akan bergeming dan tidak menanggapi seruan negosiasi apa pun. Lim yang dikenal karena sikapnya yang agresif dalam kebuntuan yang sedang berlangsung dengan pemerintah akan memulai masa jabatan resminya mulai hari Rabu mendatang. Pekan lalu, polisi melakukan penggerebekan tambahan terhadap Lim yang dituduh menghasut pengunduran diri kolektif oleh para dokter junior. Badan Kepolisian Metropolitan Seoul mengatakan pihaknya juga menyita ponsel Lim dan mengirim penyelidik ke kantornya di Seoul barat dan kediamannya di Asan, 83 kilometer selatan Seoul.

 

Polisi menyita ponsel Lim dalam penggerebekan sebelumnya pada Maret, namun ponsel tersebut dipastikan pernah digunakan olehnya di masa lalu. Sementara itu, sebuah komite kepresidenan mengenai reformasi medis secara resmi dibentuk pada Kamis (25/4) untuk mencari terobosan atas pemogokan dokter yang berkepanjangan, tetapi KMA juga telah memboikot inisiatif tersebut. Hingga kini, sekitar 12.000 dokter peserta pelatihan telah meninggalkan tempat kerja sejak 20 Februari sebagai protes terhadap rencana penambahan jumlah mahasiswa kedokteran sebanyak 2.000 orang. Pengunduran diri kolektif tersebut menyebabkan tertundanya perawatan medis dan beberapa ruang gawat darurat membatasi sebagian perawatan terhadap pasien yang sakit kritis.

 

Sumber : Yonhap

29
April

 

VOInews.id- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyuarakan kekhawatiran mengenai meningkatnya kekerasan di Fashir, sebuah kota di negara bagian Darfur Utara, Sudan. Melansir Kantor Berita Turki, Anadolu, Minggu, Dewan Keamanan menekankan potensi konsekuensi dari setiap serangan terhadap kota tersebut yang saat ini menampung sejumlah besar pengungsi internal. Dewan mendesak militer dan Pasukan Dukungan Cepat untuk meredakan ketegangan dan memenuhi kewajiban berdasarkan hukum internasional. Dewan secara khusus menekankan pentingnya menjaga perdamaian di Fashir.

 

Meskipun ada upaya diplomasi untuk menyelesaikan konflik, termasuk mediasi oleh Arab Saudi, Amerika Serikat dan Mesir, serta inisiatif dari organisasi-organisasi regional, konflik yang berkepanjangan di Sudan telah menyebabkan banyak korban jiwa, pengungsian dan krisis kemanusiaan yang mengerikan. PBB pada Jumat (26/4) mengeluarkan peringatan keras tentang meningkatnya situasi di El Fasher, ibu kota Darfur Utara di Sudan, dan mengatakan wilayah tersebut sudah berada di ambang kelaparan.

 

"Kami menerima laporan yang semakin mengkhawatirkan tentang eskalasi ketegangan yang dramatis antara aktor-aktor bersenjata di El Fasher, Darfur Utara," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric dalam sebuah pernyataan. Dujarric mengatakan bahwa pasukan paramiliter "Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dilaporkan mengepung El Fasher, menunjukkan bahwa langkah terkoordinasi untuk menyerang kota itu mungkin akan segera terjadi." Dia juga mengatakan bahwa Pasukan Bersenjata Sudan (SAF) sedang memposisikan diri mereka, meningkatkan kekhawatiran akan terjadinya konfrontasi skala besar.

 

Sumber : Anadolu

26
April

 

VOInews.id- Presiden Belarus Alexander Lukashenko, Kamis (25/4), mengatakan bahwa situasi saat ini di Ukraina memberikan peluang untuk mencapai kesepakatan damai, tetapi jika Kiev tidak melakukan perundingan, negara tersebut akan kehilangan status kenegaraannya. Berbicara di Kongres All-Belarusian di Minsk, Lukashenko mengatakan saat ini situasinya menguntungkan karena baik Rusia maupun Ukraina tidak dapat unggul di medan perang, dan kondisi seperti itu adalah yang terbaik untuk memulai dialog. Rusia melancarkan "operasi militer khusus" di Ukraina pada Februari 2022. Sejak saat itu, negara-negara Barat mendukung Kiev secara ekonomi, militer dan kemanusiaan.

 

"Ukraina membutuhkan perdamaian saat ini, keluarnya warga Ukraina yang kurang lebih sehat dan waras dari negaranya agar tidak maju ke depan adalah buktinya," katanya. Lukashenko menyoroti kesulitan dalam bantuan militer Barat ke Ukraina, dan menekankan bahwa Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy harus berangkat dari kenyataan dan memahami bahwa negaranya membutuhkan perdamaian.

 

"Jika kita tidak bernegosiasi sekarang, Ukraina akan kehilangan status kenegaraannya seiring waktu dan mungkin tidak ada lagi. Ukraina membutuhkan perdamaian saat ini. Kita harus bergerak menuju perdamaian," tegasnya. Kesepakatan Istanbul pada tahun 2022 dapat menjadi titik awal perundingan, namun hal itu tidak berarti bahwa perjanjian tersebut akan dijadikan sebagai dasar, "tetapi perjanjian ini adalah sesuatu yang dapat dimulai oleh kedua belah pihak dan kemudian dilanjutkan," ujarnya.

 

Pada saat yang sama, apa yang disebut "formula perdamaian" Zelenskyy "tampaknya patriotik, tetapi tidak realistis," kata Lukashenko. Dia juga menambahkan bahwa Rusia tidak akan pernah menyetujui ultimatum untuk membayar perbaikan, kembali ke perbatasan tahun 1991, dan mengadili militer kepemimpinannya. Rusia dan Ukraina mengadakan serangkaian pembicaraan damai pada Maret 2022 di Turki dan bahkan menyepakati rancangan perjanjian perdamaian di masa depan.

 

Namun, Kiev kemudian mengubah posisinya dan menarik diri dari perundingan. Pada Oktober 2022, Zelenskyy menandatangani dekrit yang melarang pembicaraan damai apa pun dengan Rusia saat Vladimir Putin menjabat sebagai presidennya.

 

Sumber: Anadolu

26
April

 

VOInews.id- Sekretaris Jenderal NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) Jens Stoltenberg, Kamis (25/4), meminta negara-negara anggota untuk memberikan "lebih banyak dukungan bagi Ukraina" dalam perangnya melawan Rusia. "Kita harus memberikan lebih banyak dukungan untuk Ukraina karena di sanalah kita sedang diuji," kata Stoltenberg dalam pidatonya di Berlin. "Setiap hari kita melihat serangan yang lain, kekejaman berikutnya, Rusia menghancurkan infrastruktur Ukraina, termasuk pembangkit listrik utama," kata Stoltenberg. "Dan kita harus jujur, kenyataannya dalam beberapa bulan terakhir, sekutu-sekutu di NATO belum memberikan dukungan yang dijanjikan kepada kita."

 

Selama berbulan-bulan, Amerika Serikat tidak dapat menyetujui paket baru untuk Ukraina dan di Eropa. "Pengiriman amunisi jauh di bawah tingkat yang kita katakan akan sediakan. Penundaan ini bisa menimbulkan konsekuensi," ujarnya. Stoltenberg menekankan bahwa Ukraina sebenarnya sedang berjuang dalam beberapa pekan terakhir untuk menangkis serangan garis depan Rusia. "Ukraina kalah dalam persenjataan, sehingga memungkinkan Rusia untuk terus maju di garis depan.

 

Ukraina kekurangan pertahanan udara, sehingga memungkinkan lebih banyak rudal dan drone Rusia mencapai sasaran." "Dan Ukraina kekurangan kemampuan serangan yang akurat, yang berarti Rusia dapat memusatkan lebih banyak kekuatan. Namun belum terlambat bagi Ukraina untuk menang karena dukungan perang sedang diberikan." Stoltenberg juga mendesak sekutu-sekutu di NATO untuk memenuhi janji mereka untuk mengirim senjata ke Ukraina "dan melakukannya dengan cepat." "Kita juga harus memberikan dukungan pada pijakan yang lebih kuat dan berjangka panjang. Sebesar 99 persen bantuan militer untuk Ukraina berasal dari sekutu-sekutu di NATO," katanya, menambahkan.

 

Sumber: Anadolu

Page 2 of 1156