Administrator

Administrator

04
November

 

VOI KOMENTAR  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang berdasarkan Pancasila,

04
November

VOI KOMENTAR Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi mengunjungi negara bagian Rakhine kemarin,  Kamis 2 November 2017.  Ini adalah kunjungannya yang   pertama kali sejak wilayah yang dihuni etnis muslim Rohingya itu diguncang konflik Agustus lalu. 600 ribu muslim Rohingya  terpaksa mengungsi, kebanyakan ke negara tetangganya Bangladesh,  akibat konflik tersebut. 

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi hak asasi internasional melihat bukti adanya pembersihan etnis di Rakhine. Mereka mengatakan ratusan muslim Rohingya tewas dan mayoritas warga etnis Rohingya terusir dari tanah kelahirannya dengan cara pembakaran rumah, pemerkosaan dan pembunuhan.

Sebaliknya, pemerintah Myanmar mengatakan  pihaknya sedang memerangi teroris Rohingya,  yang melancarkan serangan terhadap pos-pos keamanan dan  menewaskan belasan orang.

Dengan penjagaan ketat, Aung San Suu Kyi mengunjungi Maungdaw, wilayah yang paling parah terdampak kekerasan. Disana peraih penghargaan Nobel perdamaian itu bertemu dengan para ulama muslim. Menurut laporan kantor berita AFP ada tiga pesan yang disampaikan Suu Kyi kepada mereka, yaitu mereka harus hidup damai, pemerintah akan membantu mereka, dan mereka tidak boleh saling bertengkar. 

Meskipun sejak partainya menang pemilu 2015,  Suu Kyi secara de facto adalah kepala pemerintahan Myanmar, kekuasaannya dibatasi konstitusi yang dibuat oleh junta militer sebelumnya. Militer memiliki hak veto atas undang-undang, menguasai beberapa kementerian yang strategis, keamanan dan pertahanan. Pihak militer melancarkan operasi di Rakhine, dan Aung San Suu Kyi tidak punya kuasa untuk menghentikannya.

Dengan kekuasaan yang terbatas itu,  Suu Kyi menghadapi kritik internasional. Sebagai pejuang demokrasi,   ia dianggap lamban dalam merespon pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine. Di lain pihak, ia juga akan menghadapi tentangan mayoritas warga Myanmar, jika ia membela warga Rohingya. Sebagian besar penduduk Myanmar setuju dengan klaim pemerintahnya, bahwa Rohingya bukan penduduk asli Myanmar , melainkan imigran gelap dari Bangladesh.  Faktanya, meski mungkin  benar  berasal usul dari Bangladesh, mereka sudah tinggal di sana selama beberapa generasi , dan jumlahnya pun telah mencapai lebih dari 1,5 juta  orang. 

Kunjungan Aung San Suu Kyi ke Rakhina diharapkan ditindaklanjuti dengan penghentian kekerasan terhadap etnis Rohingya. Hingga kini arus pengungsi Rohingya terus mengalir walaupun tak sebanyak sebelumnya. Tidak ada cara lain bagi militer Myanmar, selain bekerja sama dengan pemerintah sipil, dalam mengatasi krisis kemanusiaan berkepanjangan ini. 

Atas nama kemanusiaan militer Myanmar harus melindungi etnis Rohingya di Myanmar. Mereka tentu tidak ingin perhatian teroris internasional mengarah ke Myanmar dan menimbulkan persoalan baru disana. Negara yang baru lepas dari sanksi ekonomi ini harus mampu mengatasi persoalan dalam negeri yang mungkin dapat menghambat investasi dan transisi demokrasi yang sedang berjalan. 

04
November

VOI BERITA Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, peta laut Indonesia dinilai perlu segera dibuat. Luhut Pandjaitan saat memberikan kuliah umum di Universitas Padjajaran, Bandung Jumat mengatakan, saat ini banyak persoalan terjadi di wilayah laut tidak terselesaikan karena tidak adanya peta laut. Ia mencontohkan, pada kasus kapal asing yang menabrak terumbu karang di Raja Ampat, Indonesia menjadi pihak yang disalahkan.Karena, Indonesia tidak dapat mempunyai bukti kewilayahan yang kuat akibat tidak ada peta laut.Luhut Padjaitan   mengatakan, dengan adanya peta laut tersebut  menguatkan posisi Indonesia. Sehingga, dapat meminimalisir persoalan yang muncul karena tidak adanya peta wilayah. Apalagi, saat ini laut merupakan 79 perse dari wilayah Indonesia. rol.

04
November

VOI BERITA Diplomasi publik Indonesia terhadap Australia tetap perlu dikoordinasikan di bawah Kementerian Luar Negeri. Duta Besar RI untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema dalam Seminar Diplomasi Publik Indonesia terhadap Australia di Jakarta, Jumat mengatakan, Kementerian Luar negeri perlu menjadi koordinator untuk semua pendekatan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam melakukan diplomasi publik terhadap Australia. Menurut Nadjib Riphat dalam melakukan diplomasi publik terhadap Australia, pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan harus menyatukan pendapat dan pemikiran mengenai citra yang akan ditunjukkan Indonesia kepada publik di Australia. Ia menyebutkan salah satu upaya diplomasi publik yang cukup sukses yang dilakukan Indonesia adalah Festival Film Indonesia (FFI) di Perth dan Melbourne. Sementara itu, Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia Evi Fitriani mengatakan pemerintah dalam melakukan diplomasi publik harus menentukan citra Indonesia yang ingin ditampilkan kepada masyarakat Australia. Peran diplomasi publik itu sangat penting. ant.