Setelah upaya-upaya rekonsiliasi antara kubu Presiden Joko Widodo-Maaruf Amin sebagai pemenang pemilu presiden 2019 dengan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pesaing bisa dikatakan berjalan sukses. Kini muncul masalah baru diantara para partai peserta pemilu yang memproleh suara yang besar, khususnya untuk menentukan siapa atau partai mana yang lebih berhak untuk menduduki ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Partai Gerindra mengklaim akan diberikan kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra Sodik Mudjahid hal itu tak lepas dari semangat rekonsiliasi yang didorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto beberapa waktu lalu. Gerindra berpendapat, komposisi terbaik parlemen 2019-2024 adalah partainya mengisi kursi ketua MPR. Sementara, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menempati posisi Ketua DPR. Keinginan Gerindra tentunya tidak muncul begitu saja. Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Ahmad Basarah pernah mengatakan kemungkinan itu bisa terjadi dalam proses musyawarah memilih pimpinan MPR. PDIP juga sudah membuka kemungkinan agar partai koalisi Indonesia Adil Makmur yang merupakan koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga, menempati kursi pimpinan MPR.
Namun Keinginan Partai Gerindra itu ditentang partai koalisi pendukung Jokowi-Maaruf Amin, Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Golkar menolak memberikan kursi pimpinan MPR kepada Gerindra. Penolakan Golkatr tentu bukan tanpa alasan. Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan, posisi ketua MPR sudah seharusnya diberikan kepada partai berlambang pohon beringin yang merupakan pemenang kedua perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Perlu diingat, mekanisme pemilihan pimpinan MPR dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Artinya tidak begitu saja sebuah partai dapat menghklaim partainya lebih berhak atau pantas untuk menduduki kursi pimpinan MPR. Benar, rekonsiliasi penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, tapi rekonsiliasi sebaik tidak disalahartikan sebagai upaya-upaya bagi-bagi kursi.