13
November

KBRN, Jakarta : Ketika terjadi permasalahan di Papua belakangan ini, di distrik Kimberly dan Bati, sejumlah pihak mrngaitkan hal itu dengan tentara pembebasan Papua Barat dan Papua Merdeka. Aparat polisi menyebut sebagai KKB atau Kelompok Kriminal Bersenjata. 

Aksi pada dua distrik tersebut menyita perhatian karena dilakukan oleh warga Papua sebagai anggota KKB dan terhadap warga papua lainya yakni warga distrik Kimberly dan Bati. Para penyendera ingin membesarkan namanya dikaitkan dengan kata merdeka, sementara polisi mengkerdilkan ambisi mereka dengan istilah kelompok kriminal bersenjata. 

Kapolda Papua, Boy Rafli Amar menindaklanjutinya dengan menyebut ada 21 anggota KKB tersebut dengan status buron, lengkap dengan nama dan identitas. Kasus ini kemudian dapat dilihat dari dua aspek, pertama ini memang kasus kriminal dan kedua ini memang kasus kriminal namun coba dinaikkan menjadin issue politik dan separatisme. 

Sebagai perbandingan di negara lain, hal serupa juga kerap muncul. Di Spanyol, tiba-tiba ada aksi politik memerdekakan Catalunia terhadap spanyol. Di China ada problem Xinjiang dan Tibet. Di India ada persoalan Kashmir, di Turky, Irak dan Suriah ada persoalan Suku Kurdi. Dan masih banyak yang lain. 

Pada kasus tersebut tampak sekali adanya politik identitas untuk mencapai tujuan mereka. Politik identitas mrmang cara efektif memperjuangkan hak dan menumbuhkan aksi solidaritas, walau sebenarnya ada motif lain di luar hal itu. Polisi dan TNI di Papua bertekad menyelesaikan persoalan kelompok kriminal bersenjata di papua. Janjinya adalah dengan upaya persuasif dan damai. Namun selanjutnya, persoalan demikian perlu dipilirkan secara lebih substamtif. 

Bukan sekedar peningkatan anggaran otonomi khusus Papua, akan tetapi harus diimplementasikan pendekatan lain melalui strategi kebudayaan. Kebudayaan sesungguunya adalah bahasa universal semua kalangan. 

Harapannya adalah, melalui strategi kebudayaan ada perasaan yang sama semua warga bangsa tentang Indonesia. Ini penting, sebab di tengah politik identitas yang menguat, termasuk dengan berbagai istilah, maka perlu dilakukan upaya penanganannya. 

Pendekatan di Papua, tidak sekedar anggaran. Keadilan. HAM dan sebagainya. Penting digagas pendekatan lain, salah satunya adalah strategi kemudayaan.(WK/DSY/ARN)

04
November

 

VOI BERITA Bali akan menjadi tuan rumah Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia,

04
November

 

VOI BERITA Presiden Asosiasi Bisnis India-Indonesia (IIBA) Gopaal Ahuja mengatakan pengusaha Indonesia dan India harus menghapus stigma satu sama lain untuk meningkatkan kerja sama ekonomi. Gopaal Ahuja pada pameran “Expo Indonesia 2017” di Mumbai, India, Jumat mengatakan, stigma terbesar dari pebisnis India adalah perbedaan bahasa. Stigma kedua adalah perbedaan budaya. Padahal, menurut Ahuja yang telah beberapa kali mengunjungi Indonesia, bahasa Inggris telah menjadi bahasa kedua yang digunakan sehari-hari, sama seperti orang India yang menggunakan bahasa Hindi dan Inggris. Gopaal Ahuja memahami masih banyak pengusaha Indonesia yang juga memiliki stigma untuk berbisnis di India, karena itu IIBA berupaya menjembatani pengusaha India untuk menghilangkan prasangka-prasangka tersebut dan lebih memahami Indonesia. Ia berpendapat salah satu cara paling efektif menghilangkan stigma tersebut melalui hubungan antar-masyarakat kedua negara. Ia sangat mengapresiasi terobosan bebas visa bagi warga negara India untuk berwisata ke Indonesia. (antara)